Sekilas tentang Pesta Salib Suci
Konon ketika raja Persia menaklukkan Tanah Suci dan menduduki Yerusalem, ia merampas Salib Yesus dan membawanya ke Persia. Tetapi tidak lama kemudian ketika Kaisar Romawi Heraklius mengalahkan Persia, Salib Tuhan itu dikembalikan atas tuntutannya. Heraklius sendiri memikul Salib Tuhan itu hingga ke puncak Golgotha. Pada abad keempat, Salib itu ditemukan oleh Santa Helena, ibu Kaisar Konstantinus Agung. Sebuah gereja dibangun di sana sebagai penghormatan terhadap Salib Tuhan itu.
Hari ini Gereja merayakan pesta Salib Suci. Pemuliaan Salib Tuhan ini dikaitkan dengan penemuannya oleh Santa Helena. Lebih dari itu pesta ini lebih merupakan ungkapan iman Gereja terhadap Salib Yesus sebagai jalan keselamatan.
Renungan
Manusia itu pelupa. Dan itulah yang menyebabkan dosa yang terulang-ulang dalam sejarah. Kita pendek dalam ingatan, entah baik muapun jahat. Akibatnya, kita tidak pernah bersyukur atas apa yang kita miliki, atau menyesal atas kesalahan yang telah kita buat. Kita cenderung mengulang kesalahan-kesalahan, apa yang telah diperbuat oleh leluhur kita. Walau situasi dan lingkungan kita baru, kesalahan yang dibuat adalah kesalahan yang sama.
Itulah kesalahan yang dibuat orang-orang Israel dalam bacaan pertama hari ini. Mereka telah melihat perbuatan Allah yang luar biasa yang membebaskan mereka dari cengkeraman Mesir. Mereka menyaksikan bagaimana Allah membimbing mereka dalam perjalanan di padang gurun, dalam pilar api dan tiang awan. Ketika mereka mengeluh tidak ada makanan, Allah mengirim manna dan burung puyuh menjadi makanan mereka. Mereka makan dan dikenyangkan. Tetapi, sama seperti kita, mengeluh dan mengeluh. Lupa akan apa yang telah diperbuat oleh Allah.
Kita juga selalu mengeluh. Tidak pernah puas dengan apa yang kita miliki. Ketika masih muda, kita ingin cepat dewasa supaya lebih bebas. Ketika kita menjadi lebih tua, kita berandai-andai masih muda sehingga tidak dibebani oleh macam-macam tanggungjawab. Pengangguran mengeluh karena tidak punya pekerjaan, tapi yang punya pekerjaan mengeluh tentang pekerjaan mereka, tentang boss mereka, tentang rekan kerja. Mereka yang mempunyai makan mengeluh kurang ini dan itu, sedangkan mereka yang tidak mempunyai makanan, khawatir apa yang akan mereka makan nanti.
Kita sering lupa akan belas kasih dan cinta Allah bagi kita. Itulah yang membuat kita kurang percaya, Allah akan memelihara kita. Kita menghitung-hitung kemalangan kita dan bukan berkat yang kita terima. Jika kita merenungkan hidup kita, kita akan menyadari bahwa kita telah menerima begitu banyak berkat, melalui keberhasilan kita, melalui pencapaian kita, melalui orang-orang lain dalam kehidupan kita. Sungguh, keberadaan kita saat ini adalah karena semua orang dan kesempatan yang telah diberikan kepada kita. Andai saja kita mengingat, bagaimana Allah telah memelihara kita dari waktu ke waktu, maka kita tidak khawatir akan penyelenggaraan-Nya hingga saat ini.
Lupa akan apa yang telah diperbuat oleh Allah menyebabkan kita tidak tahu bersyukur. Semuanya diterima begitu saja, atau merasa itu adalah hasil kerja keras kita belaka. Kita lupa bahwa keberhasilan kita bukan hanya hasil dari kerja keras dan kepintaran kita. Kita lupa bahwa Allah telah memberkati kita dengan kesehatan yang baik, kesempatan, kemampuan kita berpikir, uang, kita dihubungkan dengan orang-orang yang tepat. Ketika kita lupa bersyukur, maka kita tidak perna merasa puas, rakus, tidak bahagia.
Sifat kita yang pelupa, membuat kita mengulang-ulang kesalahan yang sama. Kita sudah tahu konsekuensi dari perbuatan kita, tetapi tetap saja kita lakukan yang sama. Kita gagal dalam relasi satu dengan yang lain, karena kita tidak belajar dari kesalahan yang kita buat dalam relasi yang sebelumnya. Kita cepat masuk dalam relasi yang lain karena merasa kosong, kesepian dan tidak aman.
Maka kita perlu senantiasa mengingat karya-karya agung Tuhan. “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah,” (Roma 8: 28).
Sungguh, itulah cara Allah menyembuhkan kita dari keberdosaan kita dan ketidaktahuan kita untuk bersyukur. Dalam bacaan pertama, Allah menyuruh Musa: “Buatlah ular tedung dan taruhlah pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut ular, jika ia memandangnya, akan tetap hidup.” Mengapa Allah memakai ular yang menggigit dan menewaskan mereka sebagai sarana penyembuhan mereka? Sebab dengan mengingat ular itu, mereka akan mengingat rasa sakit dan kesalahan mereka dengan mengeluh dan menggerutu ketimbang bersyukur kepada Allah atas berkat yang telah mereka terima: kemerdekaan, manna dan daging. Mereka diajar untuk bersyukur.
Ular ditinggikan pada tiang untuk mengantisipasi sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Yesus berkata, “Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga, selain dari pada Dia yang telah turun dari sorga, yaitu Anak Manusia. Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal,” (Yoh 3: 13 – 15). Kristuslah pembebeas, penyelamat dan penyembuh sejati kita. Ia datang untuk menunjukkan kepada kita belas kasih Allah dalam mengampuni dosa-dosa kita. Ia sendiri hadir sebagai Kebijaksanaan Allah dengan mengajarkan kebenaran tentang hidup, tentang Bapa-Nya, tentang prendahan diri, pengosongan diri, tentang dosa dan pengampunan. Ia membuktikan diri-Nya sendiri menjadi pembebas, yang melepaskan kita dari kuk dan kekautan si Jahat. Dengan merenungkan salib Kristus, kita diyakinkan akan belas-kasih, pengampundan dan kekuasaan cinta Allah yang menyelamatkan kita dari kematian.
Dalam Dia, kita dapat berseru, “Sungguh, begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia,” (Yoh 3: 16 – 17). Itulah yang ditegaskan oleh Paulus dalam bacaan kedua. Merenungkan cinta dan belas kasih Allah, ia menulis bahwa Yesus yang Ilahi, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib,” (Flp 2: 6 – 8). Sengsara Kristus merangkum belas kasih Allah dalam seorang pribadi.
Tetapi, tidak cukup kita berbicara tentang Kristus yang ditinggikan di kayu salib dalam sengsara-Nya. Kita juga harus berbicara tentang kebangkitan-Nya. Salib tanpa kebangkitan akan menjadi tragedy; dan kebangkitan tanpa salib akan tak berdaya. Jadi peninggian Yesus pada kayu salib juga merupakan pemuliaan-Nya. Sebab, seperti Paulus berkata, “Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp 2 : 9 – 11).
Maka layaklah dalam Ekaristi kita merayakan kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Dalam merayakan Ekaristi, kita mengenangkan hidup-Nya, kematian dan kebangkitan-Nya agar kita ingat bahwa Yesuslah hidup dan kemuliaan kita. Dengan menerima-Nya dalam Ekaristi, kita dipanggil untuk mati bersama Dia sehingga kita pun dapat ikut ambil bagian dalam kehidupan baru yang penuh rahmat. Dengan cara itu, kita dapat hidup dengan penuh syukur setiap hari. Itulah makna Ekaristi: mengucap syukur.
Bacaan hari ini: Bil. 21:4-9; Mzm. 78:1-2,34-35,36-37,38; Flp. 2:6-11; Yoh. 3:13-17.