“Supaya Engkau Dapat Menceritakan Kepada Anak Cucumu” (Kel 10: 2).
Hidup Menjadi Cerita
MINGGU KOMUNIKASI SOSISAL SEDUNIA KE-54
1. Menenun Cerita
Kita adalah makhluk pencerita. Sejak kecil kita “lapar” akan cerita. Entah itu dongeng, novel, film, lagu, atau berita. Seringkali cerita menentukan kehidupan. Tidak jarang kita memutuskan apa yang benar dan apa yang salah berdasarkan karakter/tokoh cerita-cerita yang terekam. Lewat cerita kita belajar memahami dunia dan diri kita.
Manusia tidak hanya menenun pakaian tetapi juga menenun cerita. Texere tidak hanya mengacu pada tekstil tatapi juga teks. Dalam pelbagai situasi manusia menenun cerita yang dapat mewujudkan mimpinya menghadapi situasi sulit, melawan kejahatan, menemukan kembali motivasi-motivasi heroik untuk menghadapi pelbagai tantangan hidup.
2. Tidak Semua Cerita Baik
Sayangnya, tidak semua cerita baik. Si jahat telah mengancam sejak semula. “Jika kamu memakannya, kamu akan menjadi seperti Allah” (Kej 3: 4). Demikian si jahat membisikkan cerita untuk membelokkan manusia dari keluhurannya. Sering kali kita juga mendapatkan cerita-cerita seperti itu. “Kalau kamu punya ini…. kalau kamu punya itu…. kamu akan begini…kamu akan begitu…” Itulah kisah-kisah yang dibisiikan untuk mengkesploitasi.
Tidak disadari kita sering juga menciptakan cerita-cerita yang merusak, rakus akan cerita yang membicarakan hal-hal buruk….cerita-cerita provokatif….
Sungguh cerita-cerita itu tidak menenun sejarah manusia yang baik tetapi menelanjangi manusia dari martabatnya.
Ketika pemalsuan menjadi semakin canggih, bahkan sampai tingkat rekayasa digital, kita butuh kebijaksanaan untuk menerima dan menciptakan cerita-cerita indah, benar dan baik.
3. Cerita dari segala cerita
Kita mempunyai cerita dari segala cerita: Kitab Suci. Sejak awal Allah adalah Sang Pencipta sekaligus Narator. Melalui narasi yang ditenunnya, Allah memanggil segala sesuatu kepada kehidupan. Ia bukan hanya menenun cerita, tetapi juga menenun kehidupan kita. “Engkaulah yang membentuk buah pingangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat….{mzm 139: 13 – 15). Kita diberi kehidupan sebagai undangan untuk terus menenun “kajaiban yang luar biasa” dalam diri kita.
Kitab Suci adalah sebuah Narasi, kisah cinta Allah dan manusia yang luar biasa. Manusia dipanggil dari generasi ke generasi untuk menceritakan dan menyimpan dalam memoeri episode-episode yang paling penting dari cerita segala cerita ini, juga kemudian menyerah-alihkannya dari generasi ke generasi.
Narasi Allah berpuncak pada sang Narator utama Injil: “Sang Sabda” yang sendiri menjadi cerita: “Anak tunggal Allah yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menceritakan-Nya (Yoh 1: 18). Allah telah secara pribadi membuat diri-Nya terajut ke dalam kemanusiaan kita, yang memberi cara baru merajut cerita-cerita kita.
4. Cerita yang dibaharui.
Cerita tentang Kristus itu bukan hanya warisan masa lalu; melainkan cerita kita sendiri yang selalu aktual. Allah menyejarah dalam kedagingan manusia. Itu menunjukkan bahwa tidak ada cerita manusia yang tidak penting dan tidak bernilai. Ia menghendaki agar cerita kita menjadi cerita ilahi. “Kalian,” kata St. Paulus, “adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu dalam hati manusia.”
Hendaknya cerita Injil itu senantiasa diperbaharui dalam hidup kita masing-masing, sehingga hidup kita menjadi cerita, menjadi Injil, bagi dunia.
5. Cerita yang membaharui kita
Bagaimana kelanjutan cerita itu? Sekarang menjadi keputusan kita. Apakah hidup kita menjadi cerita yang bernilai atau tidak. Apakah kisah hidup kita akan menjadi cerita yang positif atau negatif, keputusan ada di tangan kita.
Hari ini saya juga besyukur, boleh merayakan ekaristi bersama anda, saat saya mensyukuri cerita cinta Tuhan dalam diri saya, sehingga boleh selama 20 tahun hidup sebagai imamnya. Cerita itu bukan cerita kehebatan saya tetapi cerita kesetiaan da cinta Tuhan. Kami ditahbiskan berempat, tanggal 24 Mei 2000 di gereja St. Kristoforus Grogol, Jakarta Barat. Sesudah tahbisan, 1 orang ditugaskan ke Amerika (kursus pendampingan adiksi narkoba), 2 orang diutus ke A-Merauke (saya di Mindiptana) dan Kristiadji di Kepi, 1 diutus A-mriki-mawon (katanya waktu itu karena ia ditugaskan di Jawa. Setelah 1 tahun, 1 teman kami memutuskan untuk meninggalkan imamat. Jika dirunut dari kisah kami di Novisiat, kami ber 27 di awal tahun pembinaan di Novisiat, dan tinggal ber 18 waktu kaul pertama. Tahun 2017 lalu saat kami merayakan 25 tahun membiara kami masih ber-9 (8 imam dan 1 bruder). Sekarang ini kami masih 8 orang karena 1 teman kami terlebih dahulu menghadap sang pencipta tanggal 25 April yang lalu. Terima kasih atas dukungan dan doa-doa anda semua. Kita tetap saling mendukung dan mendoakan untuk membangun cerita-cerita positif dalam kehidupan kita, agar hidup kita masing-masing menjadi cerita cinta Tuhan yang pantas dikenang dan diwariskan kepada penerus-penerus kita.