Sabda Hidup
Jumat, 18 Juni 2021, Jumat Pekan Biasa XI
“Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.”
(Mat 6: 19 – 21)
Suatu ketika pada masa pengejaran orang-orang Kristiani di Roma, para serdadu Romawi menggeruduk sebuah gereja untuk mengambil seluruh kekayaan yang mereka kira dimiliki oleh Gereja. Mereka bertanya kepada Diakon Laurentius, “Mana kekayaan gerejamu? Tunjukkan kepada kami!” Laurentius menunjuk pada para janda, yatim piatu yang sedang diberi makan, orang-orang sakit yang sedang dirawat, orang-orang miskin yang sedang dibantu, dan berkata: “Ini harta kekayaan Gereja!”
Orang bilang, hiduplah selalu terarah pada akhir zamanmu! Nanti setelah mati kita akan menikmati harta yang kita kumpulkan sepanjang hidup. Jadi pertanyaannya adalah, “Apakah saya mengumpulkan harta di sorga? Atau kita mengumpulkannya untuk kita nikmati di bumi sekarang ini?” Ada ungkapan bahasa Spanyol yang berbunyi: “La mortaja no tiene bolsillos”. Tidak ada saku pada kain kafan.
Sebelum mati, Alexander Agung minta kepada menteri-menterinya agar tangan kosongnya dibiarkan terulur di luar saat ia dibaringkan dalam peti mati. Ia ingin menunjukkan: “Bahkan Alexander Agung tidak membawa apa-apa dari dunia ini ke kehidupan berikutnya.”
Harta sejati yang dapat kita kumpulkan di sorga adalah karakter yang baik, bakti kita kepada Tuhan dan sesama, perbuatan-perbuatan dan kata-kata yang baik.
* * *
Seorang yang kaya raya terbujur di pembaringan, mendekati ajalnya. Seluruh hidupnya terpusat pada satu hal: uang. Ketika ajal hendak menjemputnya, ia juga berpikir, bahwa dalam kehidupan sesudah mati pun, uang adalah segalanya. Maka ia berpesan agar sebuah kantong besar dipenuhi dengan koin emas dan nanti diletakkan di samping jenasahnya dalam peti. Pesan terakhirnya itu pun dipenuhi.
Di dunia sesudah mati, seorang malaikat yang memegang buku catatan kehidupan yang berisi tentang perbuatan-perbuatan baik yang telah diperbuat manusia berusaha menemukan namanya. Tetapi sudah lama sekali malaikat itu membolak-balik halaman demi halaman belum juga menemukan nama orang itu. Karena sudah terlalu lama, orang itu sudah merasa lapar dan haus. Ia melihat sekeliling. Nah, benar saja, ia melihat sebuah warung makan tidak jauh dari situ. “Aha…” katanya pada diri sendiri. “Benar seperti yang aku pikirkan… Untung saja aku membawa uang bersamaku!
Saking lapar dan hausnya, ia bergegas menghampiri warung makan tersebut. Di sana ia harus membayar terlebih dahulu sebelum ia dapat menikmati pesanannya. Ketika ia hendak membayar, kata penjaga di situ: “Pak, uang yang laku di sini hanyalah uang yang sudah pernah diberikan kepada orang lain atau disumbangkan sewaktu anda masih hidup.” Orang kaya itu tertunduk lesu. Ia berusaha mengingat-ingat kapan ia pernah memberikan atau menyumbangkan uangnya kepada orang lain…. tetapi tak satupun dapat ditemukannya…
Bagaimana Anda mengukur kekayaan Anda? Biasanya kita mengukurnya dengan memeriksa berapa banyak yang kita miliki, tetapi orang-orang kudus mengatakan bahwa kita harus menghitung dengan memeriksa berapa banyak yang telah kita berikan. Psikologi kepemilikan penuh paradoks. Orang yang menghabiskan hidup mereka mengumpulkan kekayaan, membuktikan betapa mereka merasa miskin, tetapi orang-orang yang merasa sangat berkecukupan tidak menyia-nyiakan hidup mereka seperti itu.
Bacaan hari ini: 2Kor. 11:18,21b-30; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7; Mat. 6:19-23.