Sabda Hidup
Rabu, 17 Februari 2021, Rabu Abu
“Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga.”
(Mat 6: 1)
Tiap malam Obet deng de pu dua saudara pi warung. Dong pu kebiasaan pesan 3 kaleng bir. Masing-masing minum satu kaleng.
Sekali waktu Obet pu dua sodara itu pi merantau, satu ke Jayapura dan yang lain ke Jakarta. Jadi, Obet tinggal sendiri. Tetapi kebiasaan pi warung dan pesan tiga kaleng bir itu jalan terus. Obet de buka tiga kaleng bir itu dan de minum. De bilang: “Sa minum satu kaleng ini untuk sa pu sodara di Jayapura. Yang kedua sa minum untuk sa pu sodara di Jakarta. Nah yang ketiga ini untuk saya sendiri to… supaya kami tiga tetap sehat dan bahagia.”
Tra lama sesudah itu, sejak hari Rabu Abu, setiap kali pigi warung, Obet de pesan dua kaleng bir saja. Lihat Obet beberapa hari cuma pesan dua kaleng bir, yang punya warung de bilang sama Obet: “Obet, sa turut berduka cita eh…”
“Lho, kenapa berdukacita?” Obet de heran.
Pace yang punya warung itu bilang: “Sa lihat beberapa hari ini ko cuma pesan dua kaleng bir. Jadi sa pikir salah satu dari ko pu dua sodara itu so mati di tanah rantau sana.”
“Oh tidak,” Obet de jawab. “Dong dua sehat-sehat saja. Sa minum satu kaleng ini to… untuk sa pu sodara di Jayapura. Lalu, satu kaleng ini…. untuk sa pu sodara di Jakarta. Nah, sekarang masa Prapaskah to..? Jadi sa sendiri pantang minum bir….”
“Janganlah ada orang yang menipu dirinya sendiri,” (1 Kor 3: 18).
“Sekarang,” beginilah Sabda Tuhan, “berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan mengaduh. Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu.” (Yoel 2: 12 – 13).
Dalam bacaan Injil Yesus juga menegaskan bahwa Ia menilai hati, bukan penampilan lahiriah yang hebat dan menawan namun berselimutkan kepalsuan dan kemunafikan. Ia sangat menekankan pentingnya motivasi yang benar, yang melandasi seluruh tindakan kita dalam berdoa, menjalankan puasa maupun beramal kasih.
Hari ini kita memasuki masa Prapaskah. Kita diundang untuk bertobat, mengubah orientasi hidup kita yang keliru.
APA MAKNA ABU?
Kata ABU beberapa kali muncul bersamaan dengan kata DEBU. Dua kata ini berasal dari akar kata yang sama. APAR = Debu, IPER= Abu.
Debu adalah benda terkecil (pada zaman itu, sebelum ditemukan atom atau partikel), sifatnya: tidak ada artinya, mengotori, tak berguna dan tak bermanfaat, namun masih bisa dilihat.
Sementara Abu mengacu pada sisa-sisa benda-benda yang dibakar. Mengacu pada kemusnahan sesuatu yang ada menjadi tiada, kesia-siaan, dan tidak punya arti lagi.
Abraham ketika Ia berbicara dengan Tuhan, mengakui dirinya hanyalah debu dan abu (Kej 18:27). Debu dan abu adalah benda yang mempunyai derajat paling rendah di antara benda-benda lainnya.
Dalam kitab Samuel dikatakan debu dan abu adalah tempat tinggal orang-orang miskin dan orang lemah. Allah mengangkat mereka dari debu dan abu. 1Sam 2:8.
Ada beberapa tokoh dalam Kitab Suci yang menggunakan ritual pertobatan dengan menggunakan debu dan abu:
- Ayub. 42:6 “Ayub bertobat dalam debu dan abu”
- Nabi Yehezkiel menyerukan pertobatan kepada Israel dengan menaruh abu di atas kepala dan berguling dalam debu. (Yeh 27:30)
- Raja Niniwe setelah mendengar nubuat penghukuman yang disampaikan Yunus. Raja ini menyesal dan duduk di atas debu (Yun 3:6).
Dari beberapa contoh kemunculan debu dan abu di atas, kita bisa menarik inspirasi dari tindakan pertobatan dengan penerimaan abu yang ditaburkan di kepala kita:
PERTAMA
Kita melihat SIAPA DIRI KITA di hadapan Allah. Tuhanlah Allah, Raja atas diri kita, sementara kita bukanlah apa-apa, tidak berarti, seorang hamba sahaya, tetapi DIKASIHI olehNya.
KEDUA
Debu dan abu adalah simbol hancurnya hati dan diri kita setelah kita menyadari betapa DOSA TELAH MERUSAK DIRI KITA sedemikian rupa.
Kita menjadi tidak bisa berpikir jernih, penuh nafsu dan tipu daya, pintar bersandiwara, melakukan kebohongan demi kebohongan.
Karena dosa kita lupa bahwa kita membutuhkan Tuhan dan sesama. Kita menjadi sedemikian sombong, angkuh dan congkak hati.
KETIGA
Menjadi debu dan abu artinya kita meninggalkan kedirian kita, dengan segala kesombongan, sifat egois, segala hal-hal yang merusak identitas kita sebagai anak-anak Allah, yang telah ditebus oleh Darah Anak Allah.
KEEMPAT
Kesadaran bahwa diri kita adalah debu membantu kita untuk melihat orang lain.
Kita semua berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu, maka tidak perlu ada yang disombongkan lagi. Tidak perlu seorang pun merasa lebih hebat dari orang lain lalu memandang rendah orang lain.
KELIMA
Sebutir debu tidak akan terlihat oleh mata. Debu akan terlihat bila dikumpulkan bersama debu lainnya.
Bukankah dunia ini berasal dari kumpulan milyaran debu. Maka diriku yang adalah debu, akan lebih menemukan eksistensi dan maknanya, ketika aku berada bersama yang lain.
Aku memerlukan orang lain, dan orang lain pun memerlukan aku.
Selamat memasuki MASA PENUH KERAHIMAN ALLAH.
Bacaan Misa hari ini: Yl. 2:12-18; Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17; 2Kor. 5:20 – 6:2; Mat. 6:1-6,16-18.