Sabda Hidup
Rabu, 9 September 2020, Rabu Pekan Biasa XXIII
“Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di sorga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi.”
(Luk 6: 20 – 23)
Ada beda tempat di mana Yesus mengatakan Sabda Bahagia dalam Injil Matius dan Injil Lukas. Dalam Injil Matius dikatakan bahwa Yesus mengatakan sabda bahagia saat Ia mengajar di atas bukit. Sedangkan Injil Lukas mengatakan: Lalu Ia turun dengan mereka dan berhenti pada suatu tempat yang datar: di situ berkumpul sejumlah besar dari murid-murid-Nya dan banyak orang lain yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon, (Luk 6: 17).
Perbedaan ini menurut saya penting. Sebab ketika anda turun dari gunung (bukit/tempat ketinggian) dan anda mengajar para murid, anda berada pada level (ketinggian) yang sama dengan mereka. Dengan kata lain, Yesus tidak berada “di atas” mereka saat mengatakan Sabda Bahagia tersebut. Ia tidak berbicara dari teori, tetapi Ia berdiri sama tinggi dengan para murid.
Yesus berdiri di tempat yang sama dengan para miskin, ia berdiri di tempat yang sama dengan mereka yang lapar.
Sering kali, kita berkata-kata pada level teori. Kata-kata kita akan lebih bermakna ketika kita berdiri pada tempat yang sama.
Dengan demikian, ketika Yesus berkata: “Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar,” Ia sedang berkata: “Berbahagialah kita yang lapar, karena Aku tahu bagaimana rasanya lapar.” Saat Ia berkata: “Berbahagialah mereka yang menangis, berbahagialah mereka yang berkabung, berbahagialah mereka yang dianiaya,” Ia sedang berkata: “berbahagialah kita yang menangis, berbahagialah kita yang berkabung, berbahagialah kita yang dikejar-kejar dan dianiaya.” Ia dapat berkata demikian karena Ia sendiri mengalami penderitaan, perkabungan, tangis, pengejaran yang sama.
Banyak orang punya kuasa, tetapi tidak punya kredibilitas karena mereka berbicara dari kepalanya saja. Banyak orang punya kuasa, tetapi kuasanya tak mempunyai kekuatan dan kredibilitas karena mereka tidak berbicara dari hati. Mereka tidak berbicara dari pengalaman. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya menjadi miskin.
Suatu ketika, saya berjumpa dengan seorang suster yang melayani orang miskin. Ia tinggal bersama mereka. Ia tidak sedang melaksanakan proyek untuk orang miskin. Bahkan ia tidak sedang mengajar mereka. Ia hanya tinggal bersama mereka, di kawasan kumuh. Lalu saya katakan kepadanya, “Suster, anda tidak dapat berkotbah kepada perut-perut kosong! Kita harus berbuat sesuatu untuk meningkatkan taraf hidup mereka!” Dan suster itu menjawab sambil tersenyum: “Bisa. Anda bisa mengajar, anda bisa berkotbah kepada perut-perut lapar, jika perut anda yang mengajar dan perut mereka yang diajar sama-sama kosong.”
Tentu saya tidak bermaksud untuk mengatakan, bahwa tinggal bersama dengan yang menderita dan tidak berbuat apa-apa sudah cukup. Tetapi, kita, orang tua, imam, rohaniwan, biarawan/wati, siapa saja yang punya kuasa, mari kita tidak hanya bicara dari ketinggian saja, tetapi perlu turun ke bawah, berdiri pada level yang sama dengan lawan bicara kita, dengan yang kita ajar, dengan yang kita kotbahi, dengan yang kita layani. Bicara dari hati.
Bacaan Misa hari ini: 1Kor. 7:25-31; Mzm. 45:11-12,14-15,16-17; Luk. 6:20-26.