Remah Harian

DIRIKAN RUMAHMU ATAS DASAR BATU

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Kamis, 1 Desember 2022, Peringatan Beato Dionisius dan Redemptus
Bacaan: Yes. 26:1-6Mzm. 118:1,8-9,19-21,25-27aMat. 7:21,24-27

“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.”

(Mat 7: 24 – 25)

Kutipan Injil hari ini adalah bagian penutup dari Khotbah di Bukit. Di sana Yesus memberi kita dua peringatan: bahwa pengakuan Iman kita harus sesuai dengan ketaatan yang nyata pada kehendak Allah, dan bahwa kita harus membangun hidup kita di atas landasan ajaran Yesus yang kokoh. Menyembah Tuhan tanpa komitmen pada Sabda Tuhan adalah kemunafikan. Ketulusan dalam diri seorang Kristen dapat ditunjukkan bukan hanya dengan apa yang dikatakannya, tetapi dengan apa yang dilakukan. Kata-kata yang baik tidak pernah bisa menggantikan perbuatan baik.

Dengan demikian, Injil hari ini merupakan panggilan Yesus kepada pemuridan yang otentik, didasarkan pada fondasi ajaran Injil yang kuat. Bertindak atas Sabda Kristus menunjukkan komitmen Kristiani yang otentik. Yesus mengontraskan seorang bijaksana yang mempraktekkan apa yang dia yakini, dengan orang bodoh yang tidak menjalankan keyakinan agamanya, dengan menggunakan gambaran seorang yang membangun rumahnya di atas batu yang kokoh dan seorang lain yang membangun rumahnya di atas pasir di musim panas. Hanya rumah dengan fondasi yang kokoh dan kuat yang dapat menahan badai dan banjir, dan hanya orang yang hidupnya memiliki fondasi rohani yang kuat yang dapat bertahan dalam ujian. Membangun di atas pasir adalah jalan menuju kehancuran. Jadi, kedua orang ini meringkaskan dua jalan – jalan kebenaran sempurna dan jalan pembenaran diri sendiri. Pada Hari Penghakiman, yang pertama akan tegak berdir di hadapan Anak Manusia; yang kedua akan jatuh.

Sahabat-sahabat, hendaknya praktik iman kita selaras dengan pengakuan kita akan hal itu. Buah ibadah kita adalah pengaruhnya di rumah dan tempat kerja kita dan pada hubungan kita dengan sesama. Ujian terbesar kita adalah perhatian dan kepedulian yang kita tunjukkan kepada sesama kita, yang banyak di antaranya biasanya mengalami ketiadaan kasih sayang, kata-kata penyemangat dan pengampunan.

Keluarga-keluarga kita pun perlu dibangun di atas fondasi yang kuat. Tidak ada pernikahan yang hebat dan tidak ada keluarga yang hebat tanpa fondasi yang kokoh. Landasan seperti itu ada ketika suami dan istri menyatakan kasih Kristus satu sama lain dan bagi anak-anak mereka dalam perbuatan maupun perkataan. Budaya dan bangsa kita juga membutuhkan fondasi yang kuat berdasarkan hukum moral Tuhan dan kasih Yesus Kristus, dan ini hanya mungkin jika keluarga kita dibangun di atas fondasi tersebut.

Beato Dionisius dan Redemptus a Cruce, Martir Indonesia

Beato Dionisius dan Redemptus a Cruce

Pierre Berthelot – demikian nama Beato Dionisius – lahir di kota Honfleur, Prancis pada tanggal 12 Desember 1600. Ayahnya Berthelot dan Ibunya Fleurie Morin adalah bangsawan Prancis yang harum namanya. Semua adiknya: Franscois, Jean, Andre, Geoffin dan Louis menjadi pelaut seperti ayahnya. Sang ayah adalah seorang dokter dan nakoda kapal. Pierre sendiri semenjak kecil (12 tahun) telah mengikuti ayahnya mengarungi lautan luas; dan ketika berusia 19 tahun ia sudah menjadi seorang pelaut ulung. Selain darah pelaut, ia juga mewarisi dari ayahnya hidup keagamaan yang kuat, yang tercermin di dalam kerendahan hatinya, kekuatan imannya, kemurnian dan kesediaan berkorban. Ia kemudian memasuki dinas perusahaan dagang Prancis. Dalam rangka tugas dagang, ia berlayar sampai ke Banten, Indonesia. Tetapi kapalnya dibakar oleh saudagar-saudagar Belanda dari kongsi dagang VOC. Berkat pengalamannya mengarungi lautan, ia sangat pandai menggambar peta laut dan memberikan petunjuk jalan.

Pierre kemudian bekerja pada angkatan laut Portugis di Goa, India. Namun ia senantiasa tidak puas dengan pekerjaannya itu. Ada keresahan yang senantiasa mengusik hatinya. Ia selalu merenungkan dan mencari arti hidup yang lebih mendalam. Ketika itu ia sudah berusia 35 tahun. Akan tetapi usia tidak menghalangi dorongan hatinya untuk hidup membiara. Ia diterima di biara Karmel. Namanya diubah menjadi Dionisius a Nativitate. Sekalipun ia sudah menjalani hidup membiara, namun ia masih beberapa kali menyumbangkan keahliannya kepada pemerintah, baik dengan menggambar peta maupun dengan mengangkat senjata membuyarkan blokade di Goa yang dilancarkan oleh armada Belanda (1636).

Di biara Karmel itulah, ia bertemu dengan Redemptus a Cruce, seorang bruder yang bertugas sebagai penjaga pintu biara dan koster, penerima tamu dan pengajar anak-anak. Redemptus lahir di Paredes, Portugal pada tahun 1598 dari sebuah keluarga tani yang miskin namun saleh dan taat agama. Orangtuanya memberinya nama Thomas Rodriguez da Cunha. Semenjak usia muda, ia masuk dinas ketentaraan Portugis dan ditugaskan ke India. Ia kemudian menarik diri dari dinas ketentaraan karena ingin menjadi biarawan untuk mengabdikan dirinya pada tugas-tugas keagamaan. Ia diterima sebagai bruder di biara Karmel.

Suatu ketika Raja Muda di Goa bermaksud mengirim utusan ke Aceh, Indonesia, yang baru saja berganti sultan dari Sultan Iskandar Muda ke Sultan Iskandar Thani. Ia ingin menjalin hubungan persahabatan karena hubungannya dengan sultan terdahulu tidak begitu baik. Sebagai seorang bekas pelaut yang sudah pernah datang ke Banten, Dionisius ditunjuk sebagai almosenir, juru bahasa dan pandu laut. Oleh karena itu tahbisan imamatnya dipercepat. Dionisius ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1637 oleh Mgr. Alfonso Mendez. Bruder Redemptus dengan izinan atasannya ikut serta dalam perjalanan dinas itu sebagai pembantu.

Pastor tentara Dionisius bersama rombongannya berangkat ke Aceh pada tanggal 25 September 1638 dengan tiga buah kapal: satu kapal dagang dan dua kapal perang. Penumpang kapal itu ialah: Don Fransisco de Sosa (seorang bangsawan Portugis), Pater Dionisius, Bruder Redemptus, Don Ludovico dan Soza, dua orang Fransiskan Rekolek, seorang pribumi dan 60 orang lainnya. Mereka berlabuh di Ole-Ole (kini: Kotaraja) dan disambut dengan ramah.

Tetapi keramahan orang Aceh ternyata hanya merupakan tipu muslihat saja. Orang-orang Belanda telah menghasut Sultan Iskandar Thani dengan menyebarkan isu bahwa bangsa Portugis datang hanya untuk meng-katolik-kan bangsa Aceh yang sudah memeluk agama Islam. Mereka semua segera ditangkap, dipenjarakan, dan disiksa agar menyangkal imannya. Selama sebulan mereka meringkuk di dalam penjara dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Beberapa orang dari antara mereka meninggalkan imannya. Dionisius dan Redemptus terus meneguhkan iman saudara-saudaranya dan memberi mereka hiburan. Akhirnya di pesisir pantai tentara sultan mengumumkan bahwa mereka dihukum bukan karena berkebangsaan Portugis melainkan beriman KatoIik. Maklumat sultan ini diterjemahkan oleh Dionisius kepada teman-temannya. Sebelum menyerahkan nyawa ke tangan para algojo, mereka semua berdoa dan Pater Dionisius mengambil salib dan memperlihatkan kepada mereka supaya jangan mundur, melainkan bersedia mengorbankan nyawa demi Kristus Yang Tersalib dan yang telah menebus dosa dunia, dosa mereka. Dionisius memohon ampun kepada Tuhan dan memberikan absolusi terakhir kepada mereka satu per satu. Segera tentara menyeret Dionisius dan mulailah pembantaian massal.

Sepeninggal teman-temannya, Pater Dionisius masih bersaksi tentang Kristus dengan penuh semangat. Kotbahnya itu justru semakin menambah kebencian rakyat Aceh terhadapnya. Algojo-algojo semakin beringas untuk segera menamatkan riwayat Dionisius. Namun langkah mereka terhenti di hadapan Dionisius. Dengan sekuat tenaga mereka menghunuskan kelewang dan tombak akan tetapi seolah-olah ada kekuatan yang menahan, sehingga tidak ada yang berani. Segera kepala algojo mengirim utusan kepada sultan agar menambah bala bantuan. Dionisus berdoa kepada Tuhan agar niatnya menjadi martir dikabulkan. Dan permintaan itu akhirnya dikabulkan Tuhan. Dionisius menyerahkan diri kepada algojo-algojo itu. Seorang algojo – orang Kristen Malaka yang murtad – mengangkat gada dan disambarkan keras-keras mengenai kepala Dionisius, disusul dengan kelewang yang memisahkan kepala Dionisius dari tubuhnya.

Kemartiran Dionisius dengan kawan-kawannya disahkan Tuhan: mayat mereka selama 7 bulan tidak hancur, tetap segar seperti sedang tidur. Menurut saksi mata, jenazah Dionisius sangat merepotkan orang sekitarnya, karena setiap kali dibuang – ke laut dan tengah hutan – senantiasa kembali lagi ke tempat ia dibunuh. Akhirnya jenazahnya dengan hormat dimakamkan di Pulau Dien (‘pulau buangan’). Kemudian dipindahkan ke Goa, India. Martir-martir itu dibunuh pada tanggal 29 Nopember 1638. Bersama Redemptus, Dionisius digelari ‘beato’ pada tahun 1900.

Author

Write A Comment