“Dalam perjalanan ke Yerusalem, Yesus dan murid-murid-Nya tiba di sebuah kampung. Seorang wanita bernama Marta menerima Dia di rumahnya. Wanita itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria itu duduk di dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan sabda-Nya,” (Luk 10: 38 – 39).
Maria duduk di dekat kaki Yesus dan mendengarkan sabda-Nya. Pada masa Yesus dan dalam budaya saat itu, “duduk di kaki Guru” sama dengan menjadi MURID. Dan kedudukan sebagai murid hanya diberikan kepada para pria, bukan wanita. Pasti, Marta mengetahui hal itu. Ia merasa terganggu dan terusik hatinya. Marta terkekang oleh pandangan dan kebiasaan yang berlaku: perannya adalah untuk memasak dan melayani sang Guru, bukan duduk di kaki-Nya. Ia melakukan perannya itu dengan sungguh-sungguh.
Yesus, yang tahu apa yang dipikirkan oleh Marta, menyatakan kepadanya, bahwa Maria, dan tentu saja juga Marta, dan bahkan semua perempuan, diperkenankan untuk duduk di kaki Sang Guru. Mereka juga murid-murid terkasih.
Sikap Yesus yang inklusif konsisten dengan sikap-Nya terhadap mereka yang berdosa, orang asing (Samaria), para penderita kusta, para pemungut cukai; dan bahkan terhadap mereka semua yang dianggap sebagai orang luar, yang tidak termasuk dalam Kerajaan Allah. Ia meruntuhkan tembok-tembok pemisah, sekat-sekat ras, sosial dan budaya yang cenderung mengkotak-kotakkan. Bagi-Nya, Kerajaan Allah adalah untuk semua. Dalam perjamuan Bapa, dalam Cinta Bapa, ada tempat untuk semua, tak terkecuali.
Apakah dalam hidup kita juga masih mengkotak-kotakkan sesama? Apakah kita masih mengagung-agungkan perbedaan antara mereka yang masuk golongan kita dan mereka yang berada di luar golongan kita?
Semoga lebih bersikap inklusif daripada eksklusif.
Bacaan hari ini: Gal. 1:13-24; Mzm. 139:1-3,13-14ab,14c-15; Luk. 10:38-42.