Sabda Hidup
Minggu, 28 Februari 2021, Minggu Prapaskah II Tahun B
“Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendirian saja. Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaian-Nya sangat putih berkilat-kilat. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat mengelantang pakaian seperti itu. Maka nampaklah kepada mereka Elia bersama dengan Musa, keduanya sedang berbicara dengan Yesus. Kata Petrus kepada Yesus: “Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.” Ia berkata demikian, sebab tidak tahu apa yang harus dikatakannya, karena mereka sangat ketakutan. Maka datanglah awan menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara: “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia.” Dan sekonyong-konyong waktu mereka memandang sekeliling mereka, mereka tidak melihat seorangpun lagi bersama mereka, kecuali Yesus seorang diri. Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka, supaya mereka jangan menceriterakan kepada seorangpun apa yang telah mereka lihat itu, sebelum Anak Manusia bangkit dari antara orang mati.”
(Mrk 9: 2 – 9)
Seorang pasien terbaring di tempat tidur sedang didorong ke ruang operasi. Dengan gemetar ia memohon kepada dokter muda yang akan mengoperasinya: “Dok…dokkkter…… mohon…hati-hati ya… ini pertama kalinya saya akan dioperasi….”
Dokter yang akan mengoperasinya menjawab dengan terbata-bata: “Ja..ja..jangan khawatir Bu…., ini….juga untuk pertama kalinya saya akan melakukan operasi!” [Semoga pasien itu selamat….].
Mempercayakan diri di tangan seorang dokter bedah adalah suatu tindakan iman. Seperti kita juga mempercayakan diri kita kepada Yesus yang berkata: “Jangan takut. Percayalah kepada-Ku; percayalah kepada Bapa.”
* * *
Tema Minggu Prapaskah ke-2 ini adalah iman. Peristiwa Yesus yang berubah rupa dalam Injil hari ini (Mrk 9: 2 – 10) berguna sebagai penguatan rohani untuk meneguhkan iman para rasul menjelang hari-hari yang akan datang ketika Ia akan menderita dengan sangat, dipaku di kayu salib dan mati di Yerusalem.
Seberapapun dalamnya iman kita dan sesetia apapun kita menghidupi ajaran-ajaran Kristus, akan ada saat-saat ketika iman kita tinggal berkelip-kelip dan bahkan hampir padam.
Iman mempunyai saat-saat “puncak gunung” dan saat-saat rendah di “lembah” kehidupan. Pengalaman puncak gunung adalah saat-saat sukacita dan pemenuah, seperti lulus ujian, tahbisan, penerimaan sakramen perkawinan, kaul pertama, dsb.
Pengalaman terendah mungkin terjadi saat kita mengalami bencana, kematian mendadak orang-orang yang kita kasihi, saat krisis finansial, sakit berat, hidup perkawinan gagal, dsb.
Manusia seperti kita, ketika kemalangan menimpa, kita dapat patah semangat dan bahkan putus asa. Akan tetapi itu bukanlah sikap pengikut Kristus yang sejati. Seorang kristiani yang baik harus memiliki semangat untuk bangkit dari kemalangan, mempercayakan diri pada pertolongan dan penyelenggaraan Tuhan.
Seperti iman Abraham dalam bacaan pertama. Iman Abraham diuji ketika Allah memerintahkan kepadanya untuk mengorbankan anaknya, Ishak. Itu bukan hanya suatu perintah yang aneh tetapi juga menyakitkan, sebab Ishak adalah anak tunggalnya. Lagipula Allah berjanji bahwa Abraham akan menjadi bapa bangsa-bangsa.
Tetapi Abraham percaya kepada Allah, dan karena kepercayaannya itu anak-Nya tak jadi dikurbankan. Karena keteguhan imannya, Allah memberkatinya melampaui segala yang diimpikannya.
Bagaimana dengan kita? Ketika krisis melanda, dapatkah kita kembali tegak berdiri teguh?
* * *
Tuntutan tindakan iman itu aneh, mustahil, asing, tetapi juga ajaib. Karena iman Abraham yang sudah lanjut usia mendapat anak dari Sarah, istrinya yang lanjut usia juga. Tetapi demi iman juga anaknya itu diminta untuk dikurbankan bagi Allah. Abraham mampu melampaui rasa kepemilikan dan kasih manusiawinya yang besar terhadap anaknya yang tunggal. Ia mau mengurbankannya. Sesuatu yang tak terbayangkan. Iman adalah sesuatu yang sangat berharga dan penting, karena itu ia meminta juga hal yang berharga dalam hidup kita. Salah satu ciri khas iman adalah membebaskan diri dari ketergantungan apapun kecuali kepada Tuhan. Di pihak lain, Allah, tempat kita mempercayakan diri mengasihi kita secara total, dan itu ditunjukkan dengan memberikan Putera-Nya yang tunggal untuk keselamatan kita.
Iman itu adalah sebuah visi hidup: cara kita melihat dan memaknai kehidupan secara keseluruhan dalam perspektif relasi kita dengan Allah. Peristiwa-peristiwa iman dalam bacaan-bacaan hari ini semua terjadi di puncak gunung atau bukit. Abraham mengalami persitiwa iman di puncak gunung. Kristus memuliakan Allah di salib di bukit Golgota. Para murid mengalami kemuliaan Allah dalam peristiwa transfigurasi di atas gunung. Gunung atau bukit adalah simbol visi iman. Dari ketinggian kita dapat melihat daratan secara lebih luas. Dengan iman kita dapat melihat lekak-lekuk topografi kehidupan kita secara lebih luas. Petrus, Yakobus, dan Yohanes mengalami visi iman itu lewat penampakan kemuliaan Kristus sambil mendengar dengan telinga mereka sendiri bahwa Kristus adalah Putera Allah yang terkasih.
Akan tetapi tidak cukup bahwa kita mengalami kemuliaan Tuhan di puncak gunung saja. Petrus tidak ingin melepaskan pengalaman sukacita transfigurasi di puncak gunung. “Mari kita dirikan tiga kemah di sini dan tinggal di sini, di tempat yang aman dan membahagiakan!” katanya.
Jika diterapkan dalam situasi sekarang ini, Petrus mungkin akan berkata: “Mari, kita tidak usah turun gunung di mana ada kemunafikan, kejahatan, korupsi, pembunuhan, penculikan, pemerkosaan, pelecehan, kebohongan, dan orang-orang yang menyusahkan….”
Tetapi misi Yesus tidak seperti itu. Mereka harus turun ke lembah – di mana mereka harus melaksanakan pelayanan kasih mereka kepada segala macam orang, seperti yang dilakukan oleh Yesus. Visi iman di puncak gunung, harus menjadi nyata dalam praksis hidup.
Bacaan Misa hari ini: Kej. 22:1-2,9a,10-13,15-18; Mzm. 116:10,15,16-17,18-19; Rm. 8:31b-34; Mrk. 9:2-10.