Sabda Hidup
Minggu, 26 Juli 2020, Minggu Biasa XVII Tahun A
“Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu. Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, iapun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu.” (Mat 13: 44 – 46).
(Mat 13: 44 – 46).
Seorang anak muda, masih duduk di bangku SMA, bekerja keras untuk menjadi seorang pemain sepak bola. Ia bangun pagi-pagi sekali untuk berlatih. Ia akan lari dan latihan beban selama 2 jam. Kemudian ia akan kembali ke asrama, mandi, sarapan dan kemudian berangkat ke sekolah. Sesudah pulang sekolah, ia pergi ke stadion dan berlatih bersama dengan teman-temannya – selama 3 jam berlatih teknik bersama pelatih, lari, latihan beban, dst. Keesokan harinya, ia bangun pagi-pagi, melakukan rutinitas latihannya, terus menerus, setiap hari. Sudah pasti dia hanya punya sedikit waktu untuk sekadar bersenang-senang bersama dengan teman-temannya.
Ketika ditanya, mengapa dia menjalani jadwal yang begitu padat dan ketat, anak muda itu berkata, “Tujuan saya adalah menjadi pemain sepak bola yang paling baik dan membantu tim saya memenangkan pertandingan. Jika pergi bersenang-senang, santai-santai menghambat saya mencapai tujuan saya, untuk apa saya lakukan itu? Semakin banyak saya berlatih, semakin baik. Untuk menjadi yang terbaik, dibutuhkan pengorbanan.”
Komitmen dan Dedikasi Total
Jika Yesus hidup di masa sekarang, perumpamaan yang disampaikan mungkin bukan tentang pemilik ladang atau pedagang yang menemukan harta terpendam atau mutiara yang indah, tetapi mungkin tentang seorang muda yang mengorbankan segala-galanya untuk menjadi pemain sepak bola yang hebat. Namun ada titik temu antara kisah tentang orang yang menemukan harta terpendam, pedagang yang menemukan mutiara yang sangat berharga, dan anak muda yang bercita-cita menjadi pemain sepak bola yang hebat. Mereka mempunyai komitmen total untuk mengejar apa yang mereka impikan: memperoleh harta terpendam, mutiara yang sangat berharga, menjadi pemain sepak bola yang hebat yang membantu teamnya menjadi juara.
Itulah poin yang ingin disampaikan oleh Yesus. Menjadi pengikut Tuhan yang sejati dibutuhkan komitmen total. Menjadi warga Kerajaan Allah menuntut kita untuk memberikan 100% – seluruh waktu kita – bukan hanya kalau saya suka, kalau mood sedang baik, kalau saya mendapatkan keuntungan…. Kerajaan Allah harus menjadi prioritas utama hidup kita. Kita tidak dapat menjadi pengikut Yesus sambilan saja – atau sekedar hobby. Tak cukup kita menjadi pengagum-pengagum Yesus. “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu,” (Mat 6: 33).
Menjadi murid sejati itu menjadi seperti pedagang mutiara tadi, menjadi seperti orang yang menemukan harta terpendam, menjadi seperti anak muda yang bercita-cita menjadi pemain sepakbola yang hebat tadi. Melibatkan dedikasi dan komitmen total.
Tetapi masih ada perbedaan besar antara ketiganya dengan seorang murid Yesus yang sejati. Baik penemu harta terpendam, pedagang yang menemukan mutiara paling berharga, maupun anak muda yang ingin menjadi pemain bola hebat semuanya berusaha untuk mendapatkan hasil (imbalan) yang tidak kekal, hasil yang sementara, imbalan duniawi; sedangkan murid Yesus yang sejati berusaha keras untuk hal yang kekal, yang permanen.
Ketika pencari harta terpendam, atau pedagang mutiara itu mati, harta itu tak berharga lagi baginya, demikian juga mutiara itu tak berharga lagi baginya. Ketika pemain sepakbola itu mati, trophy yang dimenangkannya hanya akan menjadi kenangan bagi keluarganya. Tetapi ketika seorang murid Yesus yang sejati mati, seorang Kristen sejati mati, seluruh Kerajaan Allah bersukacita.
Uang, kuasa, pengaruh, pada dirinya sendiri adalah netral. Uang itu baik ketika digunakan untuk membantu sesama – bukan hanya untuk diri sendiri. Pengaruh dan kuasa itu baik dan bahkan kudus dan mulia – jika dipakai untuk mengangkat mereka yang tersingkirkan, yang menjadi korban ketidakadilan, yang tertindih beban hidup. Bukannya untuk memperkaya diri sendiri, atau malahan Gerejapun menjadi arena mengais rejeki! Apakah di akhir hidup kita, kita akan bertanya berapa milyar uang yang telah kita kumpulkan atau telah berapa banyak harta yang telah kita peroleh? Di akhir hidup, kita akan melihat kembali hidup kita dan berharap telah memberi lebih banyak waktu kepada keluarga, orang-orang yang kita kasihi, lebih banyak membantu sesama. Di akhir hidup hanya satu hal yang sungguh-sungguh berharga, dan itu bukan harta terpendam, bukan mutiara yang indah, bukan piala champion. Yang sungguh berarti adalah bahwa kita telah menjadi apa yang Tuhan inginkan sepanjang hidup kita. “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya.” (Rom 8: 29).
Seberapa Besar Usahaku Untuk Yang Kekal?
Mari kita renungkan. Jika penemu harta terpendam, pedagang yang menemukan mutiara berharga, anak muda yang ingin menjadi pemain sepakbola yang hebat, berkorban mati-matian untuk sesuatu yang tidak kekal, seberapa banyak kita harus rela berkorban untuk “hadiah” yang kekal? Seberapa banyak usahaku untuk mengejar keselamatan yang kekal? Hal-hal duniawi itu baik dan bahkan dapat memuaskan untuk sementara waktu, tetapi keselamatan yang kekal adalah yang terbaik.
***
Ada seorang kaya raya yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengumpulkan uang. Menjelang akhir hidupnya ia berpesan, agar ditaruh satu karung uang di peti matinya. Maka matilah orang itu. Ketika ia sampai di pintu surga, malaikat mencari dalam buku kehidupan yang amat tebal, perbuatan baik apa yang telah dilakukan oleh orang itu. Malaikat itu kesulitan mencarinya sampai makan waktu begitu panjang. Karena saking lamanya malaikat itu mencari, orang itu mulai tidak sabar menunggu, dan ia mulai lapar serta haus. Ia tengok kiri – kanan… Nah, benar apa yang dia pikir, dia temukan sebuah restoran. Maka masuklah ia ke restoran itu. Ia memesan makanan yang enak dan lezat. Tetapi sebelum menikmatinya, ia harus membayar terlebih dahulu. “Untung saya bawa uang satu karung,” pikirnya. Akan tetapi, ketika ia mau membayar makanan yang telah dipesannya, Malaikat yang melayaninya berkata: “Saudara, uangmu tidak laku di sini. Uang yang laku di sini adalah uang yang telah engkau dermakan di dunia bagi sesamamu yang menderita.” Terkejutlah orang itu… ia mencoba mengingat-ingat, kapan ia mendermakan uangnya bagi sesama….dan ia tidak dapat mengingatnya….
***
Kata sebuah pepatah:
What I spent, I had;
What I kept, I lost;
What I gave, I have.
Bacaan Misa hari ini: 1Raj. 3:5,7-12; Mzm. 119:57,72,76-77,127-128,129-130; Rm. 8:28-30; Mat. 13:44-52 atau Mat. 13:44-46