Sabda Hidup
Selasa, 9 Agustus 2022, Selasa Pekan Biasa XIX
Bacaan: Yeh. 2:8-3:4; Mzm. 119:14,24,72,103,111,131; Mat. 18:1-5,10,12-14.
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.”
Mat 18: 3 – 4
Dalam hidup, pasti kita menginginkan yang terbaik, dan kebanyakan dari kita menginginkan bagian yang terbesar. Kita berebut posisi dan harta kekayaan; kita suka berada pada tempat kehormatan. Lebih suka menjadi besar daripada menjadi kecil, lebih suka ditinggikan daripada merendahkan diri.
Teman-teman Filipino sering menyebut adanya orang-orang yang memiliki utak talangka, otak kepiting. Dalam bahasa Inggris disebut “crab mentality” – mentalitas kepiting: yaitu keinginan untuk menarik ke bawah orang lain yang melebihi mereka dalam hidup. Pernahkah anda memperhatikan, apabila kepiting-kepiting ditaruh dalam ember? Ketika ada kepiting yang mencoba memanjat keluar dari ember untuk meloloskan diri, maka kepiting yang lain akan menariknya kembali jatuh ke bawah. Analogi kelakuan kepiting-kepiting itu itulah yang menjadi sebutan “crab mentality”.
Sebuah artikel menyebutkan 10 tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai mentalitas kepiting:
- Suka membanggakan diri dan merendahkan orang lain. Ketika mereka berhasil, entah besar atau kecil, maka mereka akan menyombongkan diri. Maka mereka akan memandang rendah orang lain.
- Merasa cemas ketika orang lain mengalami kemajuan. Cemburu dan iri hati berkembang lebih subur ketimbang penghargaan. Apalagi orang yang dianggap remeh lebih maju, maka mereka akan kehilangan rasa aman. Itulah yang menyebabkan mereka akan menarik turun orang lain yang berhasil.
- Semboyan hidup mereka: “Jika aku tidak dapat memiliki sesuatu, maka kamu juga tidak dapat memilikinya.” Mereka akan berharap agar orang lain gagal.
- Memandang orang lain atas cara negatif. Mereka hanya melihat apa yang baik dalam diri sendiri dan memandang orang lain lebih pada kekurangannya. Ketimbang memberi apresiasi, mereka lebih cenderung untuk mengkritik.
- Cenderung menyalahkan jika orang lain gagal, ketimbang membantu mereka.
- Memperlakukan orang lain sebagai saingan.
- Tidak ada rumus “belas-kasih” atau “belarasa”. Tak peduli akan nasib orang lain. Mereka hanya peduli terhadap diri sendiri.
- Cenderung bersikap “sok tahu”. Anda tidak akan mendapat kesempatan berargumentasi dengan mereka.
- Menghabiskan waktu untuk membicarakan orang lain, ketimbang mencari gagasan-gagasan atau solusi.
- Tentu saja, mereka tidak akan pernah mengakui bahwa mereka mempunyai mentalitas kepiting.
Injil hari ini berbicara tentang sesuatu yang berbeda: kebalikan dari kecenderungan kita tersebut. Yesus mengajarkan: “Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.” Anak-anak pada dasarnya polos dan jujur. Mereka secara alami rendah hati karena mereka bergantung pada orang tua mereka untuk segalanya. Mereka memercayai dan menaati orang tua karena mereka tahu orang tua menyayangi mereka. Menjadi seperti anak kecil tentu tidak sama dengan kekanak-kanakan, tetapi belajar untuk rendah hati, belajar memiliki ketergantungan kepada Allah, dan mempercayakan diri sepenuhnya kepada Allah.
Kita perlu belajar kerendahan hati dalam pikiran, perkataan, dan tindakan. “Belajarlah pada-Ku karena aku lemah lembut dan rendah hati,” (Mat 11: 29). Suatu kali secara retoris St. Agustinus bertanya: Apakah hal yang mendasar dalam agama dan disiplin Yesus Kristus?” Kemudian ia berkata: “Saya akan menjawab: pertama, kerendahan hati; kedua, kerendahan hati; ketiga, kerendahan hati.”