Sabda Hidup
Rabu, 3 Maret 2021, Rabu Pekan Prapaskah II
“Sekarang kita pergi ke Yerusalem dan Anak Manusia akan diserahkan kepada imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, dan mereka akan menjatuhi Dia hukuman mati. Dan mereka akan menyerahkan Dia kepada bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, supaya Ia diolok-olokkan, disesah dan disalibkan, dan pada hari ketiga Ia akan dibangkitkan.”
(Mat 20: 18 – 19)
Ada sebuah cerita tentang seorang yang tersesat di padang gurun. Ia hampir mati kehausan hingga suatu saat ia menjumpai sebuah pondok kosong. Di luar pondok reot itu, dijumpainya sebuah pompa air tua. Ia segera berlari menuju pompa itu dan mulai mati-matian memompa dengan semangatnya, tetapi tak setitik air pun keluar. Lalu, ia melihat sebuah buyung kecil dengan sumbat di mulut buyung itu. Di bagian luar buyung itu tertulis: “Anda harus memancing pompa dengan air dalam buyung ini terlebih dahulu, kawan! Dan jangan lupa, isi kembali buyung ini penuh dengan air sebelum anda pergi.”
Ia mencabut sumbat buyung itu dan melihat bahwa buyung itu penuh dengan air. Haruskah ia menuang air itu pada pompa? Bagaimana bila ia tidak berhasil? Jika ia minum saja air itu, tentu ia tidak akan mati kehausan. Tetapi, bagaimana orang yang akan datang sesudah dia, akan memancing pompa agar mengeluarkan air, jika ternyata air itu memang dibutuhkan untuk memancing pompa? Suatu dilemma bergejolak dalam hatinya…….
Namun ada kekuatan yang mendorongnya untuk mengambil risiko. Ia menuju pompa itu, menuang air pada pompa yang sudah tua dan berkarat itu sambil memompa dengan semangatnya. Dan lihatlah… air mengalir keluar dari pompa itu. Ia dapat minum sepuas-puasnya. Sesudahnya, ia isi kembali buyung itu, menyumbatnya, dan di bawah tulisan pada buyung itu ia menambahkan: “Percayalah, ini benar-benar berfungsi! Anda harus memberikan semuanya sebelum anda mendapatkannya kembali!”
St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menulis: “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyakjuga,” (2 Kor 6: 9).
Ibu dari Yohanes dan Yakobus meminta mengajukan permintaan yang aneh kepada Yesus, ketika Ia berbicara tentang Anak Manusia yang harus menderita: “Berilah perintah, supaya kedua anakku ini boleh duduk kelak di dalam Kerajaan-Mu, yang seorang di sebelah kanan-Mu dan yang seorang lagi di sebelah kiri-Mu.” Maka Yesus menjawab, kata-Nya: “Kamu tidak tahu, apa yang kamu minta. Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?” (Mat 20: 21 -22).
Bagaimana dengan kita? Terkadang, kita berpegang teguh pada anggapan keliru bahwa diri kitalah dan bukan orang lain yang penting. Kita tidak mau berkorban. Semakin kita memusatkan perhatian pada diri kita sendiri, semakin kita mempersempit perspektif kita. Tapi semakin kita memperhatikan orang lain semakin luaslah cakrawala kita. Yakobus dan Yohanes (atau ibunya) mungkin tidak sadar akan implikasi dari permintaan mereka. Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum?” Sepertinya terlihat mudah saja! Akan tetapi “cawan” itu adalah piala penderitaan dan pengorbanan. Cawan yang menuntut kita untuk menyangkal diri, mengalah, mendahulukan orang lain, membagikan apa yang sebenarnya menjadi “hak” kita. Cawan itulah yang harus kita pegang, kita angkat setiap hari dalam kehidupan kita sebagai pengikut Kristus.
Kesepuluh murid lain yang marah kepada Yakobus dan Yohanes karena permintaan mereka pun, tak lepas dari keinginan mementingkan diri sendiri. Maukah kita sungguh-sungguh berkorban? Atau kita hanya memperhatikan kepentingan diri sendiri?
Bacaan hari ini: Yer. 18:18-20; Mzm. 31:5-6,14,15-16; Mat. 20:17-28.