Sabda Hidup
Sabtu, 1 Oktober 2022, Pesta St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus
Bacaan: Yes. 66:10-14c atau 1 Kor. 12:31-13:13; Mzm. 131:1,2,3; Mat. 18:1-5.
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” (Mat 18: 3 – 5)
Siapakah yang terbesar? Yang paling kuat, yang paling populer, atau yang paling kaya? Dunia mengajarkan bahwa yang paling kuat adalah yang punya kuasa dan dan mampu memaksa pihak lain. Orang berlomba-lomba berusaha agar dapat menggunakan kekuatan fisik, ekonomi dan sosial agar segalanya berjalan sesuai dengan yang ia inginkan. Hal itu bisa terjadi di mana saja. Di sekolah anak-anak mengintimidasi yang lain, di rumah yang satu berusaha menekan yang lain untuk menjadi yang lebih dominan, di perusahaan, dalam hubungan antar negara, bahkan dalam Gereja.
Setiap orang memiliki keinginan untuk menjadi besar. Tetapi, apa makna dari kebesaran yang sejati? Di mana letak kebesaran yang sejati? Yesus menunjukkan bahwa kebesaran itu terletak pada ketikdaberdayaan anak kecil. “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” Bahkan Yesus mengatkan jika kita tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil, kita tidak masuk ke dalam Kerajaan sorga. Mengapa anak kecil? Seorang anak kecil tidak memiliki derajat, pangkat, kekayaan, prestasi yang kita kejar-kejar agar kita menjadi besar. Bukankah semuanya itu justru membuat kita bersaing dan iri hati satu terhadap yang lainnya?
Tanpa kita sadari, kita justru mencari hal-hal yang memisahkan kita satu sama lain. Tetapi jika kita menerima kemiskinan, kesepian, rasa tidak aman yang ada dalam diri kita masing-masing, maka kita akan menemukan landasan yang cukup untuk persatuan. Ketika kita mencari kekuasaan, kekuatan dan dominasi, kita tidak dapat mendengarkan satu sama lain. Bila kita benar-benar mendengarkan, kita akan menemukan kesamaan yang kita miliki – seorang anak kecil di kedalaman hati kita.
Anak kecil mempunyai kapasitas yang fantastis untuk berkomunikasi, bahkan tanpa bahasa yang sama pun dapat berkomunikasi, cepat melupakan pertentangan dan dapat dengan cepat mengampuni. Mereka belum memiliki kekayaan, kekuasaan, prestise, citra atau peran yang harus dipertahankan atau bahkan memperbudak mereka. Kita pun bisa menjadi seperti anak-anak kecil itu, tanpa harus menjadi kekanak-kanakan.
Semangat itulah yang dihidupi orang kudus yang kita rayakan pestanya hari ini: St. Theresia dari Kanak-Kanak Yesus. Untuk mencapai kesempurnaan hidup, ia memilih ‘jalan sederhana’ berdasarkan ajaran Kitab Suci: hidup selaku seorang anak kecil, penuh cinta dan iman kepercayaan akan Allah dan penyerahan diri yang total dengan perasaan gembira. Demi cita-cita itu, ia melakukan hal-hal kecil dan kewajiban-kewajiban sehari-hari dengan penuh tanggungjawab karena cinta kasihnya yang besar kepada Allah Bapa di surga.
Si Bunga Kecil

Maria Francoise Therese Martin dilahirkan di kota Alençon, Perancis, pada tanggal 2 Januari 1873. Dia memiliki empat saudara perempuan yang lebih tua dan orang tuanya adalah Santo Louis Martin dan Santa Zelie Martin. Theresa seorang gadis yang sangat ceria, ia sangat dicintai ayahnya yang memanggilnya dengan sebutan “Ratu kecil.”
Ketika Theresia masih kanak-kanak, ibunya meninggal dunia. Ayah Theresia lalu memutuskan untuk pindah ke kota Lisieux, di mana kerabat mereka tinggal. Disana terdapat sebuah biara Karmel di mana para suster berdoa secara khusus untuk kepentingan seluruh dunia.
Ketika Theresia berumur sepuluh tahun, seorang kakaknya, Pauline, masuk biara Karmel di Lisieux. Hal itu amat berat bagi Theresia. Pauline telah menjadi “ibunya yang kedua”, merawatnya dan mengajarinya, serta melakukan semua hal seperti yang dilakukan ibumu untuk kamu. Theresia sangat kehilangan Pauline hingga ia sakit parah. Meskipun sudah satu bulan Theresia sakit, tak satu pun dokter yang dapat menemukan penyakitnya. Ayah Theresia dan keempat saudarinya berdoa memohon bantuan Tuhan. Hingga, suatu hari ia melihat patung Bunda Maria di kamarnya tersenyum padanya dan seketika ia sembuh dari penyakitnya!
Theresia sangat mencintai Yesus. Ia ingin mempersembahkan seluruh hidupnya bagi-Nya. Ia ingin masuk biara Karmel agar ia dapat menghabiskan seluruh harinya dengan bekerja dan berdoa bagi orang-orang yang belum mengenal dan mengasihi Tuhan. Tetapi saat itu ia terlalu muda. Jadi, ia berdoa dan menunggu. Ia bahkan berani meminta ijin langsung kepada Paus. Hingga akhirnya, ketika umurnya lima belas tahun, atas ijin khusus dari Paus Leo XIII, ia diijinkan masuk biara Karmelit di Liseux.
Dalam biara Theresia menjalani kehidupan sebagaimana layaknya seorang Rubiah Karmelit. Tidak ada yang terlalu istimewa. Tetapi, ia mempunyai suatu rahasia: CINTA. Suatu ketika Theresia mengatakan, “Tuhan tidak menginginkan kita untuk melakukan ini atau pun itu, Ia ingin kita mencintai-Nya.” Jadi, Theresia berusaha untuk selalu mencintai. Ia berusaha untuk senantiasa lemah lembut dan sabar, walaupun itu bukan hal yang selalu mudah.
Para suster biasa mencuci baju-baju mereka dengan tangan. Suatu saat seorang suster tanpa sengaja selalu mencipratkan air kotor ke wajah Theresia. Tetapi Theresia tidak pernah menegur atau pun marah kepadanya. Theresia juga menawarkan diri untuk melayani suster tua yang selalu bersungut-sungut dan banyak kali mengeluh karena sakitnya. Theresia berusaha melayani dia seolah-olah ia melayani Yesus. Ia percaya bahwa jika kita mengasihi sesama, kita juga mengasihi Yesus. Mencintai adalah pekerjaan yang membuat Theresia sangat bahagia.
Hanya sembilan tahun lamanya Theresia menjadi biarawati. Ia terserang penyakit tuberculosis (TBC) yang membuatnya sangat menderita. Kala itu belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit TBC. Ketika ajal menjelang, Theresia memandang salib dan berbisik, “O, aku cinta pada-Nya, Tuhanku, aku cinta pada-Mu!” Pada tanggal 30 September 1897, Theresia meninggal dunia ketika usianya masih duapuluh empat tahun. Sebelum wafat, Theresia berjanji untuk tetap mencintai dan menolong sesama dari surga. Sebelum meninggal Thresesia mengatakan, “Dari surga aku akan berbuat kebaikan bagi dunia.” Dan ia menepati janjinya! Semua orang dari seluruh dunia yang memohon bantuan St. Theresia untuk mendoakan mereka kepada Tuhan telah memperoleh jawaban atas doa-doa mereka.
Setelah wafat, Theresia menjadi terkenal setelah buku catatan yang ditulisnya diterbitkan menjadi sebuah buku “Kisah Suatu Jiwa,” satu tahun setelah kematiannya (di Indonesia diterjemahkan dengan judul: ‘Aku Percaya akan Cinta Kasih Allah’).
Theresia dikanonisasi pada tahun 1925 oleh Paus Pius X. Ia dikenal dengan sebutan Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus atau Santa Theresia si Bunga Kecil.
Tanggal 19 Oktober 1997, Theresia menjadi wanita ke-3 yang diberi gelar Doktor Gereja.