Sabda Hidup
Minggu, 4 Juli 2021, Minggu Biasa XIV Tahun B
“Kemudian Yesus berangkat dari situ dan tiba di tempat asal-Nya, sedang murid-murid-Nya mengikuti Dia. Pada hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat dan jemaat yang besar takjub ketika mendengar Dia dan mereka berkata: “Dari mana diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya? Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” Lalu mereka kecewa dan menolak Dia.”
(Mrk 6: 1 – 3)
Seorang pemimpin agama berceramah dengan penuh kebencian di depan umatnya: “Situasi Indonesia sekarang ini mengalami krisis dalam banyak aspek, siapa tuh orangnya yang pilih tukang kayu jadi presiden?”
Apa salahnya jika seorang tukang kayu mampu memimpin negara besar seperti Indonesia? Apakah pekerjaan seseorang membuatnya tidak pantas menjadi pemimpin negara sebesar Indonesia? Apakah pekerjaan sebagai tukang kayu itu jelek dan hina? Apakah derajat dan martabat seseorang itu ditentukan oleh profesinya? Bukankah semua manusia itu adalah gambar Allah sendiri?
Pernyataan yang meremehkan itu juga diterima oleh Yesus sendiri. Ia pulang kampung. Kemudian Ia mengajar di rumah ibadat dan orang yang mendengar Dia takjub. Tetapi rasa takjub mereka itu justru melahirkan tanggapan yang meremehkan: Bukankah Dia ini si tukang kayu? Itu lho anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Lho koq hebat bener Dia? Dari mana Dia peroleh hikmat? Bagaimana mungkin Dia membuat mukjizat-mukjizat itu?
Latar belakang kultural mungkin dapat membantu kita untuk merenungkan bacaan Injil hari ini.
Di Timur Tengah pada masa Yesus, seorang anak laki-laki diharapkan untuk mewarisi pekerjaan atau profesi ayahnya. Tidak ada harapan bagi seseorang untuk “melakukan lebih baik dari orang tuanya” atau “maju dalam hidup.” Kehormatan mengharuskan orang tetap dalam status yang mereka warisi dan tidak berusaha untuk memperbaikinya.
Selain itu seorang pengrajin (seperti tukang kayu) saat itu, terutama yang tinggal di desa seperti Nazaret, harus meninggalkan rumah untuk mencari pekerjaan. Ini berarti mereka meninggalkan istri, ibu, saudara perempuan di rumah tanpa perlindungan laki-laki yang diperlukan untuk menjaga kehormatan keluarga. Karena alasan ini, para perajin dipandang sebagai orang yang “tidak punya rasa malu”, tidak memenuhi syarat untuk mendapat respek atau penghormatan.
Lagi pula, di mata orang-orang Nazaret, bagaimana mungkin seorang yang lahir dari seorang tukang kayu dapat memperoleh kebijaksanaan yang luar biasa seperti itu? Terlebih lagi, bagaimana mungkin seorang tukang yang mungkin sibuk dengan pekerjaannya dapat memperoleh kebijaksanaan seperti itu? Lalu mereka menolak Dia. (Mrk 6:3; bandingkan Sir 38: 24-39: 5).
Permenungan kita ini menghantar kita pada dua sisi yang pantas kita garis bawahi untuk pembelajaran kita. Pertama, sikap kita terhadap orang lain. Apakah saya terbuka, hormat, dan menerima orang lain dengan cinta yang besar, siapapun itu? Atau cenderung mengkotak-kotakkan dalam kategori-kategori tertentu?
Kedua, tugas kita di tengah dunia. Siapapun kita, apapun profesi kita, apapun latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dll yang kita miliki, kita diutus menjadi nabi. Seperti Yehezkiel diutus kepada orang Israel, kepada bangsa pemberontak, seperti Yesus hadir bagi orang-orang Nazaret, apapun tanggapan mereka, “mereka akan mengetahui bahwa seorang nabi ada di tengah-tengah mereka,” (Yeh 2: 5). Siapkah anda?
Ada ungkapan “familiarity breeds contempt”. Pengetahuan yang luas atau hubungan dekat dengan seseorang atau sesuatu menyebabkan hilangnya rasa hormat terhadap orang atau sesuatu itu. Paling sulit menjadi nabi di tengah orang-orang yang mengenal anda secara dalam. Dan lebih sulit lagi, menjadi nabi untuk diri sendiri!
Bacaan hari ini: Yeh. 2:2-5; Mzm. 123:1-2a,2bcd,3-4; 2Kor. 12:7-10; Mrk. 6:1-6.