Sabda Hidup
Jumat, 12 Agustus 2022, Jumat Pekan Biasa XIX
Bacaan: Yeh. 16:1-15,60,63 atau Yeh. 16:59-63; MT Yes. 12:2-3,4bcd,5-6; Mat. 19:3-12.
“Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
(Mat 19: 4 – 6)
Apa yang dikatakan oleh Yesus itu adalah jawaban terhadap orang-orang Farisi yang datang kepada Yesus dan bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?”
Pada masa Yesus ada dua aliran pemikiran tentang perceraian. Yang pertama adalah golongan Rabi Shammai. Mereka menafsirkan masalah perkawinan dengan sangat ketat. Berbuat tidak senonoh yang dimaksud dalam Ul 24: 1, yang dijadikan argumen orang-orang Farisi yang mencobai Yesus, adalah perzinahan itu sendiri. Seorang perempuan mungkin berperilaku sama buruknya dengan Izebel yang menganjurkan penyembahan Baal, berencana membunuh nabi Elia, memfitnah Nabot sampai dihukum mati karena suaminya, Ahab, mengingini kebun anggurnya, tetapi kecuali dia bersalah karena perzinahan, tidak akan diceraikan.
Golongan yang kedua adalah golongan pengikut Rabi Hillel. Di dalam menafsirkan Ulangan 24:1, pengikut Hillel percaya bahwa seorang laki-laki boleh menceraikan istrinya dengan alasan apa saja, seperti yang ditanyakan oleh orang-orang Farisi. Mereka sangat longgar di dalam mengizinkan perceraian. Mereka menganggap bahwa pengertian “tidak senonoh” yang dikatakan dalam Ulangan 24:1 itu bisa berarti apa saja. Membakar roti kurang matang, atau terlalu matang, berjalan sembarangan, berbicara dengan pria asing, berbicara tidak sopan tentang hubungan suaminya, suka bertengkar, dapat menjadi alasan menceraikan isteri.
Terhadap pertanyaan itu Yesus menjelaskan bahwa Musa mengijinkan perceraian hanya untuk sementara waktu untuk, dengan maksud mengontrol kasus perceraian yang meningkat pada masa itu, dengan mengijinkan perceraian, asal suami membuat surat cerai jika ia menceraikan isterinya. Namun Yesus menegaskan bahwa itu terjadi karena ketegaran hati umat Yahudi.
Dengan menolak perceraian oleh suami itu, Yesus menempatkan suami dan istri dalam kedudukan yang sama dalam perkawinan dan mengajarkan bahwa ijin dari Musa yang diberikan untuk waktu tertentu tak dapat menggantikan persatuan tetap dalam perkawinan. Yesus dengan jelas mengajak kita pada kembali pada maksud Allah sejak awal mula. Mengutip Kitab Kejadian Yesus berkata bahwa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dan “keduanya akan menjadi satu daging”. Dan “mereka bukan lagi dua, melainkan satu” – partner dengan hak-hak yang sama – tak seorangpun boleh memisahkan apa yang telah dipersatukan oleh Allah.
Berdasar pada ajaran Perjanjian Baru dalam Mrk 10: 1 – 12; Mat 19: 3 – 9; Luk 16: 8; dan 1 Kor 7: 10 – 11, Gereja Katolik mengajarkan bahwa perkawinan adalah Sakramen yang merupakan suatu kontrak yang legal dan sekaligus kudus antara seorang laki-laki dan perempuan, dan pada saat yang sama, merupakan suatu perjanjian dengan Allah. Katekismus Gereja Katolik mengatakan: “Perceraian adalah satu pelanggaran berat terhadap hukum moral kodrat. Ia beranggapan dapat memutuskan perjanjian untuk hidup bersama sampai mati, yang telah dibuat dengan sukarela antara suami isteri. Perceraian menghina perjanjian keselamatan, yang tandanya adalah perkawinan sakramental. Mengadakan satu hubungan baru, juga apabila disahkan oleh hukum sipil, menambah dan memperkuat pemisahan. Pihak suami atau isteri, yang menikah lagi, berada dalam perzinaan yang tetap dan publik, (No 2384). Lebih lanjut Katekismus Gereja Katolik mengatkan bahwa perceraian itu asusila juga dengan alasan bahwa ia membawa kekacauan di dalam keluarga dan di dalam masyarakat,” (2385).
Sahabat-sahabat, Tuhan menegaskan kembali nilai-nilai luhur perkawinan. Nilai-nilai luhur perkawinan itu harus tetap dijaga. Untuk itu perlu kesetiaan, komitmen dan pengorbanan. Mari kita doakan keluarga-keluarga kita, agar dalam keluarga-keluarga kita tumbuh saling pengertian dan penghargaan satu sama lain, kemauan untuk saling mengampuni, dan kehendak baik untuk saling melayani, sebab keutamaan-keutamaan itu akan membantu untuk menjaga keutuhan perkawinan.
Bagaimana dengan mereka yang tidak menikah? Tuhan bersabda, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Hidup sendiri menjadi pilihan seseorang, entah karena tidak dipanggil untuk hidup perkawinan atau karena seeorang ingin mempersembahkan dirinya untuk melayani Allah dan sesama, entah dengan memberikan diri bagi imamat atau hidup religius. Pilihan ini pun hanya dapat dihidupi dengan penuh jika ada kesetiaan dan komitmen.
Kita diingatkan agar baik mereka yang dipanggil untuk hidup dalam perkawinan maupun mereka yang dipanggil untuk selibat, hidup dalam komitmen yang teguh. Kita masing-masing dipanggil untuk menguduskan bentuk hidup yang kita pilih dengan bebas, dalam tutur kata dan tindakan sehari-hari.