Remah Harian

BUKAN HANYA KATA-KATA

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Selasa, 13 Desember 2022, Selasa Pekan Advent III, Peringatan Wajib St. Lusia
Bacaan: Zef. 3:1-2,9-13Mzm. 34:2-3,6-7,17-18,19,23Mat. 21:28-32

“Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga. Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?”

(Mat 21: 28 – 31a)

Dalam Bacaan Injil kemarin, para pemimpin agama Yahudi mempertanyakan kuasa Yesus. Melanjutkan konfrontasi dengan para pemimpin agama tersebut, Yesus menceriterakan perumpamaan tentang dua anak laki-laki yang diminta oleh ayah mereka untuk pergi dan bekerja di kebun anggurnya. Yang seorang menolak untuk pergi, tetapi kemudian bertobat dan pergi. Yang lainnya mengatakan “ya” tetapi tidak pergi. Pertanyaan-Nya kemudian: “Siapakah di antara keduanya yang melakukan kehendak ayahnya?”

Perumpamaan itu dapat dimaknai dalam dua tingkatan. Yang pertama adalah tema umum perikope Injil ini, bahwa melakukan lebih penting daripada sekadar mengucapkan kata-kata. “Bukan mereka yang berseru, ‘Tuhan, Tuhan’ yang akan masuk Kerajaan Surga.” Yang paling utama adalah melakukan kehendak Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Yang kedua, secara lebih khusus perumpamaan itu menunjuk pada situasi yang sedang dihadapi Yesus saat itu. Para pemimpin agama dan banyak orang yang tampaknya saleh dan merasa diri bahwa mereka mengikuti jalan Tuhan, menolak untuk percaya kepada Yohanes Pembaptis dan kepada Yesus sendiri. Di pihak lain, orang-orang yang dinilai sangat berdosa dan melanggar Hukum – para pemungut pajak dan pelacur – justru menanggapi panggilan Yohanes untuk bertobat. Mereka sangat tersentuh oleh khotbah Yohanes, mengubah cara hidup mereka, dan dibaptis olehnya di sungai Yordan. Bagaimanakah dengan para pemuka agama Yahudi? Mereka tetap “kepala batu”, tidak bergeming. Ketika Yesus datang, mereka juga menolak untuk melihat karya Allah dalam semua yang dilakukan oleh Yesus, sementara banyak orang berkumpul di sekeliling-Nya.

Para pemuka agama itu seperti anak laki-laki yang berkata ‘Ya’ pada perintah ayahnya, tetapi tidak melaksanakannya dalam hidupnya. Mereka ahli dalam menyusun kata-kata dan menafsirkan Hukum. Sedangkan para pendosa, pemungut cukai dan pelacur, yang dianggap tidak tahu Hukum Allah, bertobat dan mengubah jalan hidup mereka. Jelas kelompok mana yang menemukan jalan ke Kerajaan-Nya.

Tentu saja, kita merenungkan bacaan ini bukan hanya untuk mengetahui betapa bangga dan sombongnya para imam kepala dan tua-tua itu. Mereka menjadi cermin bagi kita untuk merenungkan hidup kita sendiri. Apakah kita berpikir bahwa karena kita adalah orang Kristiani yang taat, kita berada dalam posisi istimewa? Apakah kita menghabiskan banyak waktu untuk berdoa tetapi tidak berbuat kasih terhadap sesama? Apakah kita mudah menkritik atau merendahkan orang lain yang kita anggap kurang saleh atau tidak bermoral menurut standar kita? Kita telah mengatakan Ya kepada Bapa, Allah kita, melalui pembaptisan dan keanggotaan kita dalam Gereja, tetapi dapatkah kita katakan bahwa kita selalu melaksanakan apa yang Ia perintahkan?

Mungkin, setelah refleksi yang jujur, kita harus mengakui bahwa kita tidak benar-benar dalam posisi yang layak untuk menghakimi orang lain. Kita telah menerima karunia dan rahmat sebagai orang Kristiani, namun belum tentu kita beriman Kristiani secara lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak mendapatkan dukungan yang lebih baik untuk menghidupi iman mereka. Bisa jadi, umat di pelosok yang untuk merayakan Ekaristi saja harus menunggu berbulan-bulan, hidup imannya lebih baik daripada kita. 

Menjelang Natal yang semakin dekat, marilah kita berusaha menjadi pengikut Tuhan yang sejati, baik dalam perkataan maupun perbuatan.

Santa Lusia, Perawan dan Martir

Santa Lusia

Hari ini kita peringati Santa Lusia, seorang perawan dan martir. Kata cerita kuno, Lusia lahir di Sirakusa, di pulau Sisilia, Italia pada abad ke-4. Orangtuanya adalah bangsawan Italia yang beragama Kristen. Ayahnya meninggal dunia ketika ia masih kecil, sehingga perkembangan dirinya sebagian besar ada dalam tanggungjawab ibunya Eutychia. Semenjak usia remaja, Lusia sudah berikrar untuk hidup suci murni. Ia berjanji tidak menikah. Namun ketika sudah besar, ibunya mendesak dia agar mau menikah dengan seorang pemuda kafir. Hal ini ditolaknya dengan tegas. Pada suatu ketika ibunya jatuh sakit. Lusia mengusulkan agar ibunya berziarah ke makam Santa Agatha di Kathania untuk memohon kesembuhan. Usulannya ditanggapi baik oleh ibunya. Segera mereka ke Kathania. Apa yang dikatakan Lusia ternyata benar-benar dialami ibunya. Doa permohonan mereka dikabulkan: sang ibu sembuh. Bahkan Santa Agatha sendiri menampakkan diri kepada mereka berdua. Sebagai tanda syukur, Lusia diizinkan ibunya tetap teguh dan setia pada kaul kemurnian hidup yang sudah diikrarkannya kepada Kristus.

Kekaisaran Romawi pada waktu itu diperintahi oleh Diokletianus, seorang kaisar kafir yang bengis. Ia menganggap diri keturunan dewa; oleh sebab itu seluruh rakyat harus menyembahnya atau menyembah patung dewa-dewa Romawi. Umat Kristen yang gigih membela dan mempertahankan imannya menjadi korban kebengisan Diokletianus. Mereka ditangkap, disiksa dan dibunuh. Situasi ini menjadi kesempatan emas bagi pemuda-pemuda yang menaruh hati pada Lusia namun ditolak lamarannya: mereka benci dan bertekad membalas dendamnya dengan melaporkan identitas keluarga Lusia sebagai keluarga Kristen kepada kaisar. Kaisar termakan laporan ini sehingga Lusia pun ditangkap; mereka merayu dan membujuknya dengan berbagai cara agar bisa memperoleh kemurniannya. Tetapi Lusia tak terkalahkan. Ia bertahan dengan gagah berani. Para musuhnya tidak mampu menggerakkan dia karena Tuhan memihaknya. Usahanya untuk membakar Lusia tampak tak bisa dilaksanakan. Akhirnya seorang algojo memenggal kepalanya sehingga Lusia tewas sebagai martir Kristus oleh pedang seorang algojo kafir.

Lusia dihormati di Roma, terutama di Sisilia sebagai perawan dan martir yang sangat terkenal sejak abad ke-6. Untuk menghormatinya, dibangunlah sebuah gereja di Roma. Namanya dimasukkan dalam Doa Syukur Agung Misa. Mungkin karena namanya berarti ‘cahaya’ maka pada Abad Pertengahan orang berdoa dengan perantaraannya memohon kesembuhan dari penyakit mata. Konon, pada waktu ia disiksa, mata Lusia dicungkil oleh algojo-algojo yang menderanya; ada pula cerita yang mengatakan bahwa Lusia sendirilah yang mencungkil matanya dan menunjukkan kepada pemuda-pemuda yang mengejarnya. Ia wafat sebagai martir pada tanggal 13 Desember 304. Semoga kisah suci hidup Santa Lusia memberi peringatan kepada kita, lebih-lebih para putri kita yang manis-manis, supaya bertekun dalam doa dan mohon perlindungannya.

Author

Write A Comment