Sabda Hidup
Sabtu, 13 Agustus 2022, Sabtu Pekan Biasa XIX
Bacaan: Yeh. 18:1-10,13b,30-32; Mzm. 51:12-13,14-15,18-19; Mat. 19:13-15.
“Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.”
(Mat 19: 14)
George MacDonald (1824-1905), seorang penulis dari Skotlandia pernah mengatakan, “Tak seorangpun dapat menjadi pengikut Kristus, jika anak-anak takut bermain di depan pintu rumahnya.”
Sering kali juga, ketika seorang imam mengunjungi keluarga, ketika anak-anak sedikit “mengganggu” orang tua biasanya marah: “Jangan nakal, nanti Pastor marah!”
Dalam Bacaan Injil hari ini Yesus menegur para murid yang memarahi orang-orang yang membawa anak-anak mereka untuk diberkati dan didoakan oleh Yesus: “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga,” (Mat 19: 14)
Dalam budaya Yahudi pada masa Yesus, anak-anak tidaklah terhitung. Mereka belum mempunyai hak-hak sosial, tidak ada hak untuk bicara. Tetapi Yesus tidak hanya menganggap penting anak-anak itu malahan memberkati mereka. Ia menunjukkan kepada murid-murid bahwa cinta Allah memberi tempat untuk semua, termasuk anak-anak. Tidak ada orang yang tak penting bagi Allah. Bahkan Ia mengatakan bahwa orang-orang seperti anak-anak kecil itulah yang empunya Kerajaan Surga. Anak-anak menjadi contoh bagaimana menerima Kabar Baik cinta Tuhan dengan terbuka, simpel, dan rendah hati.
Ia menghendaki semangat seperti anak-anak. Tentu tidak berarti kekanak-kanakan dalam berelasi dengan sesama. Kita perlu mempunyai sikap seperti kanak-kanak dalam relasi kita dengan Tuhan sehingga kita dapat mendekati-Nya dengan iman dan mempercayakan diri kepada-Nya sebagai Bapa kita terkasih. Kita memiliki kepercayaan yang penuh akan cinta-Nya, tanpa pretensi, tanpa kepura-puraan.
Bukankah Cinta Allah pertama-tama adalah anugerah? Kita hanya bisa membuka hati untuk menerimanya, seperti keterbukaan anak-anak kecil. Sering kali ketika kita tumbuh dewasa tumbuh pula sikap bahwa kita berhak yang membuat seakan-akan Tuhan berhutang kepada kita. Seakan-akan kita sudah berbuat suatu pencapaian dan mulai berharap bahwa kita akan diganjar oleh Tuhan. Itu pula yang membuat kita merasa lebih baik dari orang lain dan lebih berhak akan berkat Tuhan. Kita lupa bahwa “Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita,” (1 Yoh 4: 10).
“Tuhan, saat kami menjadi dewasa baik secara fisik maupun rohani, semoga kami tetap seperti anak-anak dalam kesederhanaan dan kerendahan hati, sehingga kami semakin dekat dengan-Mu. Amin.