Sabda Hidup
Minggu, 2 Januari 2021, Hari Raya Penampakan Tuhan
Bacaan: Yes. 60:1-6; Mzm. 72:1-2,7-8,10-11,12-13; Ef. 3:2-3a,5-6; Mat. 2:1-12.
Sesudah Yesus dilahirkan di Betlehem di tanah Yudea pada zaman raja Herodes, datanglah orang-orang majus dari Timur ke Yerusalem dan bertanya-tanya: “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.”…. Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.”
(Mat 2: 1-2.11)
Siapakah para pengembara yang, tidak tidak terkesan oleh Herodes, mencari seorang bayi untuk mereka sembah dan lebih percaya kepada pesan lewat mimpi untuk mengubah rencana perjalanan mereka? Tradisi dan kisah-kisah yang kita dengar mengatakan bahwa mereka bertiga – mungkin kesimpulan itu diambil dari tiga macam persembahan yang disebut oleh Matius. Menurut tradisi mereka disebut “tiga raja”. Sebenarnya, mungkin saja lebih dari tiga orang dan lebih dari tiga macam persembahan yang dibawa kepada bayi Yesus. [Kita pun dapat termasuk di dalamnya, karena dengan baptisan kita juga “menjadi” imam, nabi dan raja]. Jika mereka itu benar-benar raja, di mana ada raja-raja yang begitu antusias bahkan merasa “diharuskan” untuk mengembara bersama untuk mencari dan menyembah raja lain yang baru lahir? Barangkali memang lebih tepat kita menyebut mereka para majus, seperti juga Matius menyebut mereka – para majus [magi] yang lebih kental hubungannya dengan yang mistery, magis dan mukjizat.
Para sejarawan berkata bahwa kecil kemungkinan bahwa kisah tersebut menyampaikan suatu kejadian yang dapat diverifikasi. Bagi kita, lebih penting dari rakta-fakta sejarah itu adalah alasan mengapa Matius menulis kisah ini dalam Injilnua. Dalam hal itu, ia memberi kita begitu banyak petunjuk. Pertama, Matius mengambil nubuat nabi Yesaya untuk detil kisahnya. Yesaya meyakinkan umat yang telah lama tinggal dalam kegelapan bahwa terang kemuliaan Allah akan terbit atas mereka dan iman mereka akan menarik bangsa-bangsa dari jauh datang untuk membawa persembahan. Dengan itu kita memiliki kisah para majus yang mengadakan perjalanan, bintang, unta-unta dan persembahan: semua merupakan tanda kedatangan keselamatan dari Tuhan.
Matius menafsirkan nubuat Yesaya itu dan menampilkan Yesus sebagai pemenuhan harapan akan keselamatan itu. Melanjutkan komentarnya itu, Matius menggambarkan bagaimana para Majus itu bertanya kepada Herodes tentang nubuatan yang menunjuk pada seorang raja yang akan datang. Herodes memanggil para imam kepala dan para ahli Taurat, sebagai gambaran sikap para pejabat masa depan tentang Yesus, mengutip nubuat itu tetapi tidak menunjukkan rasa ingin tahu untuk melihat bagaimana nubuat itu dapat digenapi dalam hidup mereka sendiri. Dengan itu Matius mengawali Injilnya dengan Yesus, Emmanuel, yang terancam di antara umat-Nya sendiri dan justru disembah oleh bangsa-bangsa lain. Injil Matius diakhiri dengan perintah Kristus untuk membuat segala bangsa murid-murid-Nya dan janji Emmanuel akan menyertai kita sampai akhir jaman.
Apa makna narasi ini bagi kita saat ini, saat kita mengawali tahun 2022? Mungkin dalam ketidakpastian saat ini (aknkah COVID-19 sungguh-sungguh berakhir?), para Majus, orang-orang yang rela mengadakan perjalanan bersama seperti para peserta sinode, dapat menjadi pamandu kita. Lebih dari waktu dan biaya yang diperlukan untuk perjalanan mereka, mereka mempunyai keyakinan, antusiasme, motivasi yang tinggi dan hasrat untuk mencari makna dalam hidup mereka. Sikap-sikap ini mendorong mereka untuk membaca tanda-tanda dan memulai pengembaraan mereka. Mereka dengan rendah hati mempercayai bahwa ada kebijaksanaan yang lebih tinggi dari yang telah mereka temukan. Para pengembara ini, tanpa takut mencari pengetahuan di negeri yang jauh, tergerak oleh “keresahan suci”, kegelisahan seperti yang dialami oleh Agustinus, yang belum mencapai ketenangan sebelum beristirahat dalam Tuhan. Dengan “kegelisahan kudus” itu mereka memulai perjalanan, suatu peziarahan “kristiani” pertama.
Saat ini, kita juga melihat kegelisahan-kegelisahan yang serupa. Sebagai dampak dari COVID-19, banyak orang mengevaluasi kembali kehidupan mereka. Para peneliti melaporkan meningkatnya jumlah orang yang meninggalkan pekerjaan mereka. Pandemi ini seakan menyadarkan kita akan keringkihan kita sebagai manusia, bahkan di dunia yang paling maju pun manusia itu ringkih. Kita juga disadarkan bahwa ada jurang begitu dalam dalam tingkat kesejahteraan dan kesehatan, dan dipanggil untuk saling peduli. Pada saat yang sama pandemi yang mengharuskan kita menjaga jarak dengan orang lain, kita “diharuskan” untuk beradaptasi dengan pola hidup, pola komunikasi, pola aktivitas yang baru. Sekolah, ibadah, pekerjaan, perjumpaan dilaksanakan dari jarak jauh dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Dengan itu kita menemukan makna hidup atas cara-cara baru.
Dalam bukunya, Let Us Dream: The Path to a Better Future, Paus Fransiskus membagikan ide-ide yang sangat cocok untuk pesta hari ini. Dia menggambarkan saat ini sebagai perubahan zaman, bukan hanya waktu perubahan. Dia mengatakan bahwa perubahan ini, “dipercepat oleh virus corona, adalah saat yang tepat untuk membaca tanda-tanda zaman.” Menghindari jebakan jawaban yang mudah, Paus Fransiskus mengatakan, “Sebuah celah telah terbuka antara kenyataan dan tantangan yang kita hadapi dan resep serta solusi yang tersedia bagi kita. Kesenjangan itu menjadi ruang untuk berefleksi, bertanya, dan berdialog.”
Para majus menjadi model bagi kita. Terdorong oleh “kesenjangan” antara pengetahuan dan harapan mereka, mereka mengadakan perjalanan mencari makna yang lebih, yang belum mereka temukan dalam hidup mereka. Mereka bersama-sama merefleksikan tanda-tanda zaman dan mencari kebijaksanaan di negeri asing, percaya bahwa kebenaran dari tempat lain itu akan melengkapi kebenaran yang telah mereka pahami.
Sebagai umat sinodal, mari kita berziarah, membaca tanda-tanda jaman. Mari memupuk kerendahan hati dan kerinduan untuk mencari makna yang lebih dalam. Janganlah kita memupuk arogansi dan prasangka seperti Herodes, atau kekerasan hati yang tertutup seperti para pemimpin Yahudi. Seperti para Majus yang tekun, kita juga perlu tetap bertekun untuk berubah, untuk bertobat. Kita perlu bertekun untuk mencabut kebiasaan-kebiasaan buruk dari akar-akarnya, perlu bertekun mencabut akar-akar cinta diri, kerakusan, ketidakpedulian akan sesama.