Remah Harian

AMARAH

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Kamis, 9 Juni 2022, Kamis Pekan Biasa X

Bacaan: 1Raj. 18:41-46Mzm. 65:10abcd,10e-11,12-13Mat. 5:20-26.

“Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.”

(Mat 5: 22)

Kemarahan adalah emosi manusia yang paling mentah, paling kuat, dan paling merusak. Dalam Injil hari ini Yesus menggambarkan tiga tahap kemarahan dan hukuman yang pantas diterima masing-masing. Yesus juga menasihati murid-murid-Nya untuk tidak jatuh dalam kemarahan sedemikian rupa sehingga mereka jatuh dalam dosa.

1) Kemarahan di hati – Cicero menyebutnya “kegilaan singkat”. Kemarahan ini memiliki dua bentuk: pertama, api kemarahan yang menyala secara tiba-tiba dan mati secara tiba-tiba. Kedua, luapan amarah yang berkobar-kobar dan berlarut-larut, sehingga dalam hati timbul niat membalas dendam dan menolak untuk memaafkan atau melupakan. Yesus menetapkan pengadilan dan hukuman oleh Pengadilan para tetua sebagai hukumannya.

2) Marah dalam ucapan: Penggunaan kata-kata yang menghina (misalnya berkata: kafir!), atau merusak reputasi. Yesus berkata bahwa orang yang marah yang secara verbal melecehkan seperti itu harus dihadapkan kepada Sanhedrin, Mahkamah Agama Yahudi, untuk diadili dan dihukum.

3) Kemarahan dalam tindakan: Ledakan kemarahan yang tak terkendali, yang sering mengakibatkan serangan fisik atau pelecehan. Yesus berkata bahwa barangsiapa marah seperti itu pantas “diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala”.

Singkatnya, Yesus mengajarkan bahwa kemarahan yang berkepanjangan itu buruk, perkataan yang menghina atau merusak reputasi seseorang lebih buruk dan menyakiti orang lain secara fisik lebih buruk lagi.

Mari kita berusaha untuk saling mengampuni dan mengusahakan rekonsiliasi sesegera mungkin, bila terjadi konflik. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa,” demikian kata St. Paulus (Ef 4: 26). Apabila kita memendam kemarahan di hati kita, selain kita mengundang penyakit – darah tinggi, depresi – kita juga mengundang Iblis. “janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis,” (Ef 4: 27). Mari mohon kepada Tuhan agar kita dikaruniai kekuatan untuk kontrol diri dan rahmat pertama-tama untuk mengampuni.

***

Sekitar jam 10 pagi, satu Ibu pergi ke Pasar Wamanggu, cari mobil pangkalan yang akan ke Asiki. Dia mau titip anaknya yang masih kelas 5 SD. Lalu dia berkata kepada sopir, ”Sa titip sa pu anak eh,” sambil ia memberikan ongkosnya. Ibu itu sendiri tidak ikut karena masih ada urusan di Merauke. Setelah satu jam perjalanan, anak itu bertanya kepada penumpang di sampingnya, apakah sudah sampai di Ulilin. Penumpang itu menjawab, “Belum.” Seperempat jam kemudian, anak itu bertanya lagi, “Om, so sampai Ulilin kah?” Penumpang itu menjawab, “Belum. Masih jauh.” Setengah jam kemudian, anak itu bertanya lagi: “So sampai di Ulilin kah?” Penumpang itu mulai marah dan mengatakan: “Ko ini sibuk sekali eh. Sa so bilang masih jauh!” Karena penumpang di sebelahnya marah, dan penumpang lain juga melotot mata mereka kepadanya, anak itu kemudian bertanya kepada sopir: “Om sopir, so sampai Ulilin kah?” Sopir juga marah: “Masih jauh. Ko duduk tenang saja!” Si anak ketakutan. Maka dia duduk diam saja dan kemudian tertidur.

Singkat cerita, mobil sudah sampai di perkebunan sawit, tidak lama lagi akan sampai Asiki. Semua lupa sama si anak itu, sedangkan anak itu masih tertidur pulas. Sopir mengatakan kepada semua penumpang, kita lupa si anak itu. Apakah kita semua bersedia mengantarnya ke Ulilin. Semua mengatakan, baiklah tidak apa-apa. Maka mobil kembali ke Ulilin dan satu setengah jam kemudian, sampailah mereka di Ulilin, sementara anak itu masih tidur pulas. Sopir membangunkan anak itu: “Hei… so sampai Ulilin. Ko turun sudah!” Si anak terbangun dan berkata: “Oh, so sampai Ulilin,” sambil mengambil sesuatu dari tasnya. Sopir heran dan bertanya: “Loh, ko tidak turun di Ulilin?” Anak itu menjawab: “Tidak. Sa juga mo ke Asiki. Cuma tadi Mama bilang, kalau so sampai Ulilin, sa boleh makan sa pu bekal makan siang.”

Memang susah menahan amarah…..

“Anybody can become angry — that is easy, but to be angry with the right person and to the right degree and at the right time and for the right purpose, and in the right way — that is not within everybody’s power and is not easy.”
― Aristotle

Author

Write A Comment