Sabda Hidup
Rabu, 2 Juni 2021, Rabu Pekan Biasa IX
Salah satu kecenderungan kita, manusia, adalah membuat diri kita norma dan akal budi kita ukuran untuk mengukur segala sesuatu yang lain. Berdasarkan konsep dan pemahaman kita, penilaian terhadap orang lain kita berikan. Para Saduki yang datang kepada Yesus pun demikian. Mereka kekeuh memegang pandangan mereka tentang hidup dan mati dan mereka ingin memaksakannya kepada orang lain sebagai kebenaran, bahkan satu-satunya kebenaran. Para Saduki adalah para pemimpin agama terhormat di antara orang-orang Yahudi kelas atas yang bangga dengan pemikiran ilmiah mereka yang jelas. Seperti para rasionalis masa kini, mereka ingin menantang dan menyanggah “kepercayaan buta”pada masa mereka lelalui kepandaian dan pemikiran logis. Para Saduki, berbeda dengan para Farisi, tidak percaya akan adanya hidup kekal baik manusia, malaikat maupun roh-roh jahat. Kehidupan beragama mereka didasarkan dengan kuat pada pengalaman mereka. Surga dan neraka bagi mereka adalah pengalaman duniawi yang berakhir pada kematian.
Menanggapi argumen mereka melawan kebangkitan dan hidup sesudah mati Yesus mengarahkan perhatian mereka pada kebenaran yang juga mereka percaya, yaitu kekekalan Allah. Yesus menunjukkan bahwa Allah adalah Allah yang hidup, Allah orang-orang hidup. Kitab suci menunjukkan hal itu. Dalam Keluaran 3: 6, Allah menyebut diri-Nya sebagai Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Allah adalah “sahabat” Abraham, Ishak, dan Yakub ketika mereka hidup di bumi ini. Bagaimana kasih Allah yang kekal itu tiba-tiba terhenti? Persahabatan mereka dengan Allah tidak dapat berhenti dengan kematian. Bagaimana karunia kehidupan yang Allah bagikan dengan murah hati kepada anak-anak-Nya menjadi anugerah yang sementara? St. Paulus mengutip nabi Yesaya (Yes 64: 4; 65: 17) yang mengatakan: “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia,” (1 Kor 2: 9). Yesus menjelaskan kepada lawan-lawannya bahwa mereka tidak boleh mencoba menerapkan pengetahuan mereka yang terbatas pada hikmat Allah yang tidak terbatas. Bukan hanya di kalangan pemeluk agama saja kita menemukan fanatisme buta. Kurangnya keterbukaan dan keangkuhan bisa berbahaya bahkan jika dilakukan atas nama ilmu pengetahuan dan akal sehat.
Memang benar apa yang dikatakan oleh Frank Zappa: “A mind is like a parachute. It doesn’t work if it is not open. Pikiran itu seperti parasut, ia tidak akan berfungsi kalau tidak terbuka.”
Semoga kita menggunakan anugerah akal budi untuk mengembangkan kehidupan dan memperjuangkan kebenaran, bukan untuk membenarkan diri dan membenarkan kepentingan serta fanatisme sendiri.
Bacaan hari ini: Tob. 3:1-11a,16-17a; Mzm. 25:2-4a,4b-5ab,6-7bc,8-9; Mrk. 12:18-27.