Seorang Bapak membawa isterinya yang akan melahirkan ke Rumah Sakit. Rumah Sakit itu adalah sebuah Rumah Sakit Katolik. Oleh sebab itu, di ruangan di mana isterinya ditangani, tergantung sebuah salib. Karena bapak itu adalah seorang atheis, maka ia mendesak kepada para perawat: “Singkirkan salib Kristus itu dari sini! Saya tidak ingin anak saya yang akan lahir melihat Kristus!”
Malam itu, si bayi lahir. Keesokan harinya, bapak itu bertanya kepada perawat: “Bagaimana keadaan anak saya?” “Dia baik-baik saja,” kata perawat itu yang kemudian melanjutkan: “Tetapi ia tidak akan pernah melihat Kristus!” “Nah, itu yang saya inginkan!” kata bapak itu. “Keinginan yang amat bodoh!” kata perawat itu. “Tetapi keinginan bapak telah dikabulkan. Anak anda lahir buta!”
Tentu anak itu bukanlah Si Buta Dari Gua Hantu, bukan juga Bartimeus yang dikisahkan oleh Injil hari ini. Bartimeus, Anak Timeus, adalah seorang buta. Sebagai seorang buta, ia terpinggirkan dari masyarakatnya. Kebutaannya dianggap hukuman dari Allah atas dosa-dosanya. Jika bukan dosanya sendiri yang harus ia tanggung, dosa-dosa keluarganyalah yang menyebabkan ia buta. Mungkin dosa nenek moyangnya! Bayangkan, dosa 10 turunan yang harus ia tanggung! Maka betapa ia menderita, baik secara fisik maupun mental – sosial.
Namanya sendiri menyiratkan hal itu. Bartimeus, bar – tima’i (Aram) berarti anak kecemaran, anak cemar.
Rupanya, ia sudah sering mendengar ceritera-ceritera tentang Yesus, si pembuat mukjizat dan penyembuh itu. Ah, tetapi Ia bukan sekadar seorang pembuat mukjizat dan penyembuh. Maka ketika ia mendengar bahwa orang itu lewat di dekatnya, ia berseru: “Yesus, anak Daud! Kasihanilah aku!”
Orang-orang yang ada di sekitarnya merasa terganggu. “Berisik!” hardik mereka. “Diam! Mengganggu!”
Tetapi semakin keras ia memohon: “Anak Daud! Kasihanilah aku!”
Ah gelar itu! Anak Daud. Bartimeus yang buta melihat jauh melebihi orang-orang sezamannya. Memanggin-Nya dengan gelar kehormatan “Anak Daud” menunjukkan imannya kepada Dia. Dengan memanggil-Nya “anak Daud,” maka mereka juga telah mengakui-Nya sebagai Mesias, Sang Juruselamat.
Yesus mungkin terkejut Bartimeus memanggil-Nya dengan sebutan itu. Ia menyuruh agar Bartimeus dipanggil. “Apa yang kaukehendaki Aku perbuat bagimu?” tanyanya. “Rabuni, semoga aku dapat melihat!” pinta Bartimeus. Melihat iman Bartimeus, Yesus berkata: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”
Imannya membawa keselamatan. Imannya membawa pembebasan. Karena imannya, ia buta tetapi melihat. Ia melihat dengan mata imannya. Dan karena imannya itu, Bar-Tima’i diubah menjadi Bar-Timaios. Anak cemar diubah menjadi anak-kehormatan, anak yang bermartabat karena ia juga adalah anak Allah.
Doa Bartimeus, hendaknya menjadi doa kita juga. “Rabuni, semoga aku dapat melihat!” Mengapa? Secara fisik kita melihat. Tetapi sering kali kita juga telah menjadi buta.
Pertama, kita buta terhadap sesama, apalagi sesama yang miskin, yang kekurangan, yang terpinggirkan. Mengapa kita buta terhadap sesama? Seringkali kita silau oleh emas dan permata. Kita buta karena kita hanya mengejar kepentingan diri sendiri. Kemudian kita membabi-buta! Sesama? Tak ada tuh!
Kedua, kita buta karena kita silau terhadap jabatan dan kedudukan. Orang lain? Trada! Jadi, tabrak saja!
Ketiga, jangan pikir bahwa hanya kekayaan yang dapat membutakan. Kemiskinan pun dapat menjadikan kita buta. Kemiskinan dapat menjadi alasan bagi kita untuk cuek terhadap hal-hal yang lain. Ke gereja? Ah… sibuk cari makan!
Keempat, kita buta karena kita ini kuper, kurang perhatian. Jadi kita selalu mencari perhatian. Akulah pusat dunia. I’m the center of the universe!
Kelima, kita buta terhadap karya keselamatan Tuhan dalam hidup kita. Mengapa? Karena semuanya hanya taken for granted.
“Rabuni, semoga aku dapat melihat!”
Melihat apa dan ke mana?
Pertama, melihat ke atas – kepada Tuhan. Ingat, bahwa hidup kita ini pun bukan milik kita. Segala-galanya milik Allah. Maka, bersyukurlah apabila kita masih biperbolehkan untuk “menikmati” hidup.
Kedua, melihat ke dalam diri sendiri. Betapa kita ini adalah pendosa yang patut untuk dikasihani. Kita membutuhkan pengampunan, membutuhkan belas kasih Allah, membutuhkan penyembuhan, perlu pertobatan.
Ketiga, melihat sesama. Kita tidak hidup sendiri. Mari saling membantu, saling bahu-membahu, membangun dunia agar menjadi tempat yang lebih layak untuk dihuni.
“Rabuni, semoga aku dapat melihat!”
Bacaan hari ini: Yer. 31:7-9; Mzm. 126:1-2ab,2cd-3,4-5,6; Ibr. 5:1-6; Mrk. 10:46-52.