Sabda Hidup
Minggu, 12 Januari 2025, Pesta Pembaptisan Tuhan
Bacaan: Yes. 40:1-5,9-11; Mzm. 104:1b-2,3-4,24-25,27-28,29-30; Tit. 2:11-14; 3:4-7; Luk. 3:15-16,21-22.
Ketika seluruh orang banyak itu telah dibaptis dan ketika Yesus juga dibaptis dan sedang berdoa, terbukalah langit dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengarlah suara dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” [Luk 3: 21 – 22].
Hari ini kita rayakan Pesta Pembaptisan Tuhan. Tuhan koq dibaptis? Untuk apa? Baptisan adalah tanda pertobatan. Apakah Tuhan Yesus perlu bertobat? Di awal perikope Injil Lukas yang kita baca hari ini dikatakan bahwa Yohanes datang ke seluruh daerah Yordan dan menyerukan pertobatan: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu (Luk 3:2). Orang-orang dari pelbagai kalangan datang kepadanya untuk dibaptis (Luk 3: 7).
Jadi baptisan adalah tanda pertobatan. Kita sendiri sebagai orang katolik dibaptis artinya: dihapus dari dosa-dosa asal dan dosa-dosa pribadi, “dilahirkan kembali oleh pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (Tit 3: 5), dan menjadi katolik; menjadi anggota Gereja katolik; menjadi anggota Tubuh Mistik Yesus Kristus; menjadi ciptaan baru; menjadi tempat kediaman Roh Kudus dan menjadi putera-puteri (angkat) Bapa; menjadi filii et filiae in Filio sumus (menjadi putera dan puteri di dalam Sang Putera).
Jadi, apakah Yesus berdosa? Atau Ia menganggap diri seorang pendosa sehingga Ia ikut berbaris di antara orang banyak untuk dibaptis oleh Yohanes?
Menurut Aloysius Pieries SJ, penulis buku An Asian Theology of Liberation, Yesus berbaris bersama-sama (di antara atau di tengah – tengah) orang dari penduduk Yerusalem, dari seluruh Yudea dan dari seluruh daerah Yordan itu inspiratif dan imperatif bagi Gereja yang juga seharusnya: berbaris bersama-sama dengan orang dari pelbagai agama, dari seluruh dunia untuk datang kepada Allah atau mencari kebenaran. Gereja tidak boleh merasa benar sendiri dan menang sendiri, karena Yesus saja tidak menganggap diri demikian. Dia rela berbaris dan menyamakan diri dengan semua orang yang mencari pertobatan dan datang kepada Yohanes untuk dibaptis.
Yesus mau (atau rela, bersedia) untuk dibaptis, walaupun tahu bahwa arti baptisan Yohanes ialah untuk bertobat karena Kerajaan Allah sudah dekat – padahal Kerajaan Allah datang dengan kedatangan-Nya itu sendiri – karena Dia mau menjadi sama dengan saya dan anda dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa. Yesus ingin menjadi sama dengan kita; ingin dekat dengan kita; ingin senasib sepenanggungan dengan kita; ingin solider dengan kita; ingin sehidup–semati dengan kita.
Dalam bahasa psikologi ada istilah sympathos – empathos; yang artinya kurang lebih adalah sehati-seperasaan; senasib-sepenanggungan; bela-rasa; bela-sungkawa; pokoknya orang ingin menjadi dekat dengan orang yang dicintainya.
Tetapi, betapa semakin sulitnya hal itu kita terapkan di masa sekarang. Orang sekarang melihat sesamanya sebagai saingan, lawan, dan musuh. Di antara pemeluk agama juga terjadi menang-menangan dan saling mengkafirkan. Ciri tanpa sadar orang beragama adalah merasa paling benar dan menganggap yang lain sesat. Karena agama mengambil bentuk budaya dan budaya juga berkaitan dengan bangsa atau suku bangsa maka: bangsa ini identik dengan agama ini dan bangsa itu identik dengan agama itu. Dan kenyataannya memang begitu, sehingga membuat persaingan dan permusuhan semakin runyam.
Perlawanan bukan hanya terjadi antara agama satu dengan yang lainnya atau suku bangsa satu dengan suku bangsa lainnya; melainkan di dalam agama yang sama juga; di dalam komunitas-komunitas kita, bahkan di dalam keluarga sendiri. Di dalam grup whatsapp yang sama saja tidak jarang terjadi perbedaan pandangan dan pertentangan pendapat.
Yesus dibaptis itu artinya: Yesus mau mendamaikan semuanya di dalam diri-Nya. Tetapi karena setelah dibaptis itu Dia kemudian memulai karya-Nya di depan umum dan mendapatkan perlawanan dari para pemimpin agama Yahudi, maka risiko yang harus dialami Yesus dalam rangka mendamaikan semua orang itu malah disalibkan.
Pernah juga dikatakan bahwa Penginjil Lukas menyebut bahwa kain lampin di Palungan itu menunjuk pada kain kafan di makam Yesus. Demikian pula rupanya ketika Yesus dibaptis di sungai Yordan, maka tiga tahun kemudian Kalvari sudah menanti. Begitu Yesus memulai karya-Nya di depan umum untuk mewartaan Kabar Sukacia Injil keselamatan Allah, maka justeru kaum pemimpim agama menentangnya.
Dan manusia tetap tidak berubah. Persaingan, permusuhan, menang-kalah, benar–salah, terus berlangsung. Padahal dengan kasih karunia yang menyelamatkan manusia itu kita diharapkan “meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini,” (Tit 2: 12). Semoga kita menjadi semakin rendah hati. Semoga kita ingat bahwa sejak kita dibaptis, kita telah menjadi satu dengan Yesus. Sejak saat itu, kita berbagi dengan Yesus dalam tugas-Nya untuk melayani dan menyelamatkan manusia. Jika kita melakukannya, maka Allah juga dapat mengatakan kepada kita: “Engkau adalah anak-Ku yang Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan.”
Tuhan Yesus, kasihanilah kami, orang yang berdosa ini! Semoga kami semakin hari semakin hidup sebagai putra dan putri Bapa yang terkasih. Amin.