Sabda Hidup
Minggu, 29 September 2024, Minggu Biasa XXVI Tahun B
Bacaan: Bil. 11:25-29; Mzm. 19:8,10,12-13,14; Yak. 5:1-6; Mrk. 9:38-43,45,47-48.
Guru, kami lihat seorang yang bukan pengikut kita mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah orang itu, karena ia bukan pengikut kita.” Tetapi kata Yesus: “Jangan kamu cegah dia! Sebab tidak seorangpun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku. Barangsiapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita.” (Mrk 9: 38 – 40)
Di Keuskupan Anu, Pastor Anu memulai sebuah persekutuan doa yang dilaksanakan di gedung pusat pastoral Keuskupan tersebut. Imam-imam lain mendirikan juga persekutan-persekutuan doa yang serupa di paroki mereka masing-masing, tetapi dalam skala lebih kecil. Maka pergilah Pastor Anu menghadap Bapa Uskup dan mendesak agar Bapak Uskup menandatangani sebuah deklarasi bahwa persekutuan doanya adalah satu-satunya persekutuan doa resmi di Keuskupan tersebut. Oleh sebab itu, setiap orang yang ingin pelayanan doa penyembuhan harus pergi ke gedung pusat pastoral, tak boleh ke tempat lain. Dengan kata lain, deklarasi tersebut, menyatakan bahwa Tuhan tidak boleh menyembuhkan siapapun dalam keuskupan tersebut kecuali di gedung pusat pastoral di mana dilaksanakan persekutuan doa oleh Pastor Anu. Akan tetapi, dapatkah Tuhan dibatasi seperti itu? Dapatkah pikiran sempit seperti itu membatasi Tuhan?
Musa, lebih dari 3000 tahun lalu, tahu akan hal itu. Orang-orang Israel yang dipimpinnya menuju Tanah Terjanji, mempunyai pemahaman yang jelas tentang kekudusan Tuhan. Mereka mendirikan perkemahan mereka di lembah, jauh dari gunung yang mereka percaya sebagai tempat Tuhan berdiam. Di tengah-tengah, di antara lembah dan gunung, mereka membangun sebuah kemah istimewa, Kemah Pertemuan antara Tuhan dan Musa pemimpin mereka. Siapa saja yang menyimpang ke gunung dihukum mati; ia sudah melintasi teritori Tuhan. Mereka pun percaya bahwa Tuhan tidak akan menyimpang ke teritori mereka di perkemahan. Batas-batasnya jelas. Semuanya diatur dengan jelas. Mereka percaya bahwa mereka tahu di mana Tuhan tinggal dan di mana Ia “tidak boleh” tinggal.
Tetapi Tuhan tidak dapat dibatasi. Kebenaran ini terungkap pada saat mereka memilih 70 tua-tua untuk membantu Musa. Seperti dikisahkan dalam bacaan pertama, ketujuhpuluh tua-tua tersebut sudah dicatat sebelumnya. Pada hari peneguhan, mereka datang ke kemah pertemuan di mana Tuhan akan mengambil sebagian Roh yang hinggap pada musa dan ditaruh atas mereka. “Ketika Roh itu hinggap pada mereka, kepenuhanlah mereka seperti nabi,” (Bil 11: 25). Tetapi ada dua orang, Edad dan Medad, yang juga dicatat untuk menjadi tua-tua, tetapi entah kenapa, tidak datang ke kemah pertemuan. Yang penting untuk diperhatikan di sini adalah bahwa ternyata Roh Tuhan juga hinggap atas mereka berdua yang tidak pergi ke kemah pertemuan. Maka mulailah mereka berdua bernubuat seperti nabi yang ke kemah pertemuan.
Lho, koq Tuhan melintasi batas yang telah ditentukan dengan begitu rapi dalam pikiran mereka? Ini merupakan suatu kejutan bagi bangsa Israel. Segera mereka bergegas untuk memberi tahu Musa, dan Yosua meminta Musa untuk menghentikan mereka Edad dan Medad. Tapi Musa hanya tersenyum dan berkata, “Apakah engkau begitu giat mendukung diriku? Ah, kalau seluruh umat TUHAN menjadi nabi, oleh karena TUHAN memberi Roh-Nya hinggap kepada mereka!” (Bilangan 11:29). Barangkali Musa hendak berkata: “Bukankah itu akan membuat pekerjaan sedikit lebih ringan?”
Orang-orang yang berpikiran sempit seperti Yosua selalu saja ada di antara umat Tuhan. Murid-murid Yesus dihadapkan pada kebingungan yang sangat besar: Bagaimana mungkin seseorang yang tidak mengikuti kita, yang tidak termasuk dalam kelompok kita, dapat melakukan mukjizat yang sama atau bahkan lebih besar dari mukjizat yang menjadi milik eksklusif kita? Jika seseorang berhasil menduduki ladang di mana kita dipanggil untuk melaksanakan misi kita, apakah ada alasan untuk bersukacita atau khawatir? Siapakah yang berwenang untuk menggunakan nama Yesus? Kepada siapakah Ia telah mengaruniakan Roh-Nya, kuasa yang menyembuhkan setiap penyakit? Yohanes dan rekan-rekannya tidak senang karena orang lain yang mengusir setan menggunakan nama Yesus itu tidak termasuk dalam kelompok mereka.
Bagaimana kita memahami siapa yang bersama kita dan siapa yang melawan kita? Pada saat-saat tertentu, kita sebagai orang Kristen merasa bahwa kita adalah satu-satunya anak-anak Allah yang dikasihi dan orang-orang yang tidak termasuk dalam kelompok kita dan agama kita adalah orang luar yang tidak dapat berada dalam kasih dan belas kasihan Allah.
Namun dalam perjalanan kita, ketika kita melihat sekeliling, kita menyadari bahwa ada banyak teman yang murah hati, tulus, dan baik hati yang berjalan bersama kita. Kita tidak melihat mereka karena kita telah melihat melalui “kaca mata rayben” dari anggapan kita sebagai satu-satunya Gereja yang benar dan satu-satunya murid yang benar. Iri hati dan kecemburuan menghalangi kita untuk mengenali kebaikan yang dilakukan oleh mereka yang berbeda dengan kita.
Dalam sebuah pertemuan lintas agama di Singapura pada tanggal 12 September, Paus Fransiskus membuat pernyataan yang menggelitik: “Semua agama adalah jalan menuju Tuhan. Mereka seperti bahasa yang berbeda untuk sampai kepada Tuhan, tetapi Tuhan adalah Tuhan untuk semua. Karena Tuhan adalah Tuhan bagi semua, maka kita semua adalah anak-anak Tuhan.” Namun, wawasan yang mendalam ini ditentang oleh beberapa orang yang khawatir bahwa hal ini akan menantang doktrin Katolik tentang Kristus sebagai satu-satunya juru selamat dan merusak upaya misionaris gereja.
Tidak hanya dalam kaitan dengan kelompok lain, bahkan di dalam komunitas-komunitas kita, banyak yang melayani saudara dan saudari kita, melaksanakan tugas-tugas dengan ketekunan dan kemurahan hati; namun, iri hati dan kecemburuan sering kali menghancurkan upaya-upaya kita. Dan semua pekerjaan yang kita lakukan, tidak lagi menjadi sebuah pelayanan tetapi berubah menjadi sarana untuk menegaskan diri kita, status sosial dan ego kita.
Markus mengingatkan komunitasnya untuk melakukan segala upaya agar hidup mereka bermanfaat bagi masyarakat. Tuhan telah memberkati kita dengan mata, tangan dan kaki untuk melihat dan menjangkau kebutuhan saudara-saudari kita untuk melakukan kebaikan bagi mereka. Siapa pun yang menyia-nyiakan kesempatan untuk berbuat baik di dunia ini akan kehilangan, selamanya, kesempatan unik yang telah Tuhan berikan kepadanya; menghancurkan dirinya sendiri seperti sampah. Kata “Gehenna” adalah tempat di mana semua sampah kota dibuang.
Injil berbicara tentang pemotongan tangan atau kaki atau bahkan pencungkilan mata seseorang – jika kita menggunakannya untuk melakukan kesalahan dan gagal menggunakannya untuk melakukan kebaikan. Memang, hal ini mengejutkan para pendengarnya, tetapi kita harus ingat bahwa ini bukanlah sebuah maklumat tentang penghukuman kekal bagi orang-orang yang melakukan kesalahan. Sebaliknya, ini adalah panggilan mendesak untuk menghentikan perilaku, sikap, gaya hidup, dan ideologi kita yang salah, sehingga kita tidak membiarkan hidup kita terbuang sia-sia di tempat sampah.
Sahabat-sahabat, hari ini kita diundang untuk tidak berpikir berdasarkan kategori-kategori teman atau lawan, kami atau mereka, orang dalam atau orang luar, milikku dan milikmu, tetapi untuk memandang lebih luas, membuka hati kita agar dapat mengenali kehadiran dan karya Tuhan, bahkan di tempat atau pada situasi yang tak terduga, yang bukan bagian dari lingkaran kita. Yang lebih utama adalah kepekaan kita pada otentisitas kebaikan, keindahan dan kebenaran, bukan pada siapa yang melakukannya.
Kasih itu inklusif, bukan eksklusif. Semoga kita tidak terjebak dalam cinta diri.