Sabda Hidup
Jumat, 12 November 2021, Jumat Pekan Biasa XXXII, Peringatan Wajib St. Yosafat
Bacaan: Keb. 13:1-9; Mzm. 19:2-3,4-5; Luk. 17:26-37
“Sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia: mereka makan dan minum, mereka kawin dan dikawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, lalu datanglah air bah dan membinasakan mereka semua. Demikian juga seperti yang terjadi di zaman Lot: mereka makan dan minum, mereka membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun. Tetapi pada hari Lot pergi keluar dari Sodom turunlah hujan api dan hujan belerang dari langit dan membinasakan mereka semua. Demikianlah halnya kelak pada hari, di mana Anak Manusia menyatakan diri-Nya.”
(Luk 17: 26 – 30)
Berpikir tentang kematian kita bukanlah sebuah fantasi yang buruk. Demikian kata Paus Fransiskus. Dalam dua minggu terakhir tahun liturgi, bacaan-bacaan dalam Ekaristi mengundang kita untuk merenungkan sebuah akhir: akhir dunia ini atau akhir jaman, dan akhir hidup kita masing-masing, sebab kita semua pasti akan mati. Gereja, sebagai ibu dan guru, mengajak kita merenungkan kematian kita sendiri.
Pentinglah bahwa kita mulai berpikir, bagaimana hidup kita akan berakhir. Dalam Injil Yesus menggunakan istilah “sama seperti terjadi pada jaman Nuh” dan “sama seperti yang terjadi pada jaman Lot”. Artinya, sama seperti pada jaman mereka, orang-orang makan, minum, kawin dan dikawinkan, sampai pada saat Nuh masuk ke dalam bahtera, demikian juga pada jaman Lot, mereka makan, minum, menjual, membeli, menanam, membangun. Semuanya berjalan normal, hingga semuanya itu berakhir dengan tiba-tiba.
Kita terbiasa tenggelam dalam kehidupan normal kita, dan sering kali sudah menjadi rutinitas yang otomatis: bangun pagi, bersiap untuk kerja, melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah, bertemu orang-orang, merencanakan masa depan…. Tetapi, akan datang harinya ketika Tuhan akan memanggil, “Mari, datanglah!” Panggilan Allah itu bagi sebagian orang terjadi tiba-tiba, sebagian lagi setelah menderita sakit, kecelakaan…. Kapan dan bagaimana, tak seorang pun tahu. Tetapi panggilan Allah akan menjadi surprise bagi kita, membawa kita kepada surprise yang lain – kehidupan kekal.
Tuhan dan Gereja mengajak kita hari-hari ini untuk berhenti sejenak dan merenungkan akhir hidup kita. Sebab, akan tiba harinya ketika kita harus pergi. Kita mungkin telah membuat rencana-rencana untuk hari itu, tetapi tahukan kita bahwa hari itu akan menjadi hari terakhir hidup kita? Jika demikian, dapatkan saya menggunakan hari ini sebaik-baiknya, dapatkan saya bekerja hari ini sebaik-baiknya, seolah-olah hari ini adalah hari terakhir hidup saya? Demikian juga dalam relasi kita di rumah, dengan keluarga, dengan sahabat, dengan rekan kerja, dst. Bagaimana apabila hari ini adalah hari terakhir saya berada bersama keluarga saya? Apa yang harus saya perbuat?
Merenungkan, memikirkan kematian kita bukanlah suatu fantasi yang buruk, sebab itu adalah sebuah realitas. Itulah keindahan kematian, akan ada perjumpaan dengan Tuhan, di mana Ia akan berkata: “Datanglah, datanglah untuk diberkati oleh Bapa, datanglah bersama-Ku.” Lalu, tak ada gunanya kita berkata, “Tapi Tuhan, saya masih harus membereskan ini dan itu.” Sebab tidak ada yang sempurna.
Jadi, apa yang akan kita perbuat? Makan, minum dan bergembira untuk besok kita akan mati? Hidup kita di bumi ini sangat singkat, mari kita lakukan yang terbaik. Saat kita menunggu Ia memanggil, mari menjalani kehidupan yang kreatif dan bermakna. Mari berbagi berkat yang diberikan Tuhan kepada kita.