Sabda Hidup
Rabu, 11 September 2024, Rabu Pekan Biasa XXIII
Bacaan: 1Kor 7:25-31; Mzm 45:11-12.14-15.16-17; Luk 6:20-26.
Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di sorga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi.” (Luk 6: 20 – 23)
Ada beda tempat di mana Yesus menyampaikan Sabda Bahagia dalam Injil Matius dan Injil Lukas. Dalam Injil Matius dikatakan bahwa Yesus menyampaikan sabda bahagia saat Ia mengajar di atas bukit. Sedangkan Injil Lukas mengatakan: Lalu Ia turun dengan mereka dan berhenti pada suatu tempat yang datar: di situ berkumpul sejumlah besar dari murid-murid-Nya dan banyak orang lain yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon, (Luk 6: 17).
Perbedaan ini punya arti penting. Sebab ketika anda turun dari gunung (bukit/tempat yang tinggi) dan anda mengajar para murid, anda berada pada level ketinggian yang sama dengan mereka. Dengan kata lain, Yesus tidak berada “di atas” mereka saat menyampaikan Sabda Bahagia tersebut. Ia tidak berbicara dari teori, tetapi Ia berdiri sama tinggi dengan para murid.
Yesus berdiri di tempat yang sama dengan para miskin, ia berdiri di tempat yang sama dengan mereka yang lapar.
Sering kali, kita berkata-kata pada level teori. Kata-kata kita akan lebih bermakna ketika kita berdiri pada tempat yang sama.
Dengan demikian, ketika Yesus berkata: “Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar,” Ia sedang berkata: “Berbahagialah kita yang lapar, karena Aku tahu bagaimana rasanya lapar.” Saat Ia berkata: “Berbahagialah mereka yang menangis, berbahagialah mereka yang berkabung, berbahagialah mereka yang dianiaya,” Ia sedang berkata: “berbahagialah kita yang menangis, berbahagialah kita yang berkabung, berbahagialah kita yang dikejar-kejar dan dianiaya.” Ia dapat berkata demikian karena Ia sendiri mengalami penderitaan, perkabungan, tangis, pengejaran yang sama.
Dalam wejangannya saat bertemu dengan para Uskup, para imam, biarawan-biarawati dan seminaris di Katedral Jakarta, Rabu 4 September yang lalu, Paus Fransiskus mengajak kita semua untuk menyatakan belarasa dengan sungguh-sungguh menyentuh hati mereka yang berkebutuhan dan terlibat langsung. Belarasa tidak dapat hanya dinyatakan dari kejauhan.
Banyak orang punya kuasa, tetapi tidak punya kredibilitas karena mereka berbicara dari kepalanya saja. Banyak orang punya otoritas, tetapi kuasanya tak mempunyai kekuatan dan kredibilitas karena mereka tidak berbicara dari hati. Mereka tidak berbicara dari pengalaman. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya menjadi miskin.
Marilah kita tidak hanya bicara dari ketinggian saja, tetapi turun ke bawah, berdiri pada level yang sama dengan “lawan bicara” kita, dengan yang kita ajar, dengan yang kita kotbahi, dengan yang kita layani. Bicara dari hati bukan dari teori.