Sabda Hidup
Jumat, 25 Februari 2022, Jumat Pekan Biasa VII
Bacaan: Yak. 5:9-12; Mzm. 103:1-2,3-4,8-9,11-12; Mrk. 10:1-12.
“Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
(Mrk 10: 9)
Pada masa Yesus ada dua aliran pemikiran tentang perceraian. Yang pertama adalah golongan Rabi Shammai. Mereka menafsirkan masalah perkawinan dengan sangat ketat. Berbuat tidak senonoh yang dimaksud dalam Ul 24: 1, yang dijadikan argumen orang-orang Farisi yang mencobai Yesus, adalah perzinahan itu sendiri. Seorang perempuan mungkin berperilaku sama buruknya dengan Izebel [mempromosikan penyembahan Baal, berencana membunuh nabi Elia, memfitnah Nabot sampai dihukum mati karena suaminya, Ahab, mengingini kebun anggurnya], tetapi kecuali dia bersalah karena perzinahan, tidak akan diceraikan.
Yang kedua adalah golongan pengikut Rabi Hillel. Di dalam menafsirkan Ulangan 24:1, pengikut Hillel percaya bahwa seorang laki-laki boleh menceraikan istrinya dengan alasan apa pun. Mereka sangat longgar di dalam mengizinkan perceraian. Mereka menganggap bahwa pengertian “tidak senonoh” yang dikatakan dalam Ulangan 24:1 itu bisa berarti apa saja. Membakar roti kurang matang, atau terlalu matang, berjalan sembarangan, berbicara dengan pria asing, berbicara tidak sopan tentang hubungan suaminya, suka bertengkar, dapat menjadi alasan menceraikan isteri.
Manusia cenderung permisif dan mencari aturan yang longgar. Hasilnya adalah perceraian mudah dilakukan entah karena alasan yang terlalu sepele atau bahkan tanpa alasan sama sekali. Ketika Yesus berbicara tentang perceraian itu, Ia hendak mengembalikan nilai perkawinan pada posisi yang sebenarnya.
Makna sebenarnya dari bacaan Injil hari ini adalah bahwa Yesus teguh dengan pandangannya bahwa moral seksual yang terlalu longgar pada masanya harus diperbaiki. Mereka yang memandang perkawinan hanya untuk kesenangan harus diingatkan bahwa perkawinan adalah tanggungjawab. Mereka yang menganggap perkawinan sekadar untuk memenuhi kebutuhan akan kenikmatan badani harus diingatkan bahwa perkawinan adalah suatu persatuan rohani. Yesus sedang membentengi keagungan rumah tangga.
Bagaimanakah kita? Apakah kita juga terlalu permisif mengikuti kesenangan dan keinginan badani saja? Apakah kita juga menghormati kekudusan kehidupan seksual dan perkawinan?