Sabda Hidup
Minggu, 3 November 2024, Minggu Biasa XXXI Tahun B
Bacaan: Ul. 6:2-6; Mzm. 18:2-3a,3bc-4,47,51ab; Ibr. 7:23-28; Mrk. 12:28b-34.
Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” (Mrk 12: 31)
Pesan utama dari bacaan-bacaan hari ini adalah prinsip yang paling mendasar dari semua agama, terutama kekristenan. Kita harus mengasihi Allah di dalam diri-Nya dan mengasihi serta melayani orang lain yang juga adalah anak-anak-Nya. Doa-doa kita, sakramen-sakramen, ibadah, persembahan dan semua praktik-praktik kesalehan lainnya dimaksudkan untuk membantu kita bertumbuh dalam hubungan ganda dalam mengasihi ini.
Bacaan pertama mengingatkan kita untuk mengasihi Allah dengan menaati perintah-perintah-Nya. Bacaan ini juga menggambarkan berkat-berkat yang disediakan bagi mereka yang menaati perintah-perintah-Nya. Mazmur Tanggapan (Mzm. 18) mengingatkan kita bahwa: “TUHAN adalah gunung batuku, bentengku, dan pembebasku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung …. TUHAN itu hidup! Dan terpujilah gunung batuku!” (Mzm. 18:1-2, 46a) Bacaan kedua, surat kepada orang Ibrani, menyampaikan bagaimana Yesus, Imam Besar yang kekal dan kudus, mempersembahkan diri-Nya sebagai korban di kayu salib untuk menunjukkan kasih Allah kepada kita. Sedangkan Injil hari ini mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus membalas kasih ini, dengan mengasihi Dia di dalam diri-Nya dan mengasihi Dia yang hidup di dalam diri sesama.
Bacaan Pertama, Ul. 6:2-6.
Injil hari ini (Mrk. 12:28b-34), merupakan klimaks dari serangkaian pertanyaan tentang isu-isu kontroversial yang diajukan oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi untuk menjebak dan menyingkirkan Yesus dari tengah-tengah mereka. Pertanyaan terakhir yang mereka ajukan adalah tentang Hukum Taurat, yang secara historis merupakan institusi paling sakral di Israel, yang menjadi fondasi bagi semua institusi lainnya. Oleh karena itu, dalam bacaan pertama, Musa digambarkan sedang menjelaskan Hukum Taurat kepada bangsa Israel setelah kembali dari Gunung Sinai. Dia mencoba membuat penghormatan dan ketaatan terhadap Hukum Taurat itu menjadi sesuatu yang akan memberi mereka martabat, tujuan, kedudukan, perbedaan, dan tempat yang unik dalam sejarah. Dia menjanjikan kepada mereka imbalan duniawi, “supaya lanjut umurmu dan menjadi sangat banyak….di suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya”, jika mereka tetap setia kepada Yahweh. Mereka harus membuktikan kesetiaan mereka kepada Tuhan dengan menaati perintah-perintah-Nya.
Bacaan kedua, Ibr. 7:23-28.
Beberapa orang Yahudi yang menjadi Kristen merindukan lembaga-lembaga yang nyaman, yang mereka nikmati dalam agama Yahudi. Dalam bacaan kedua, penulis surat kepada orang Ibrani mencoba menjelaskan kepada mereka betapa jauh lebih besar manfaat yang mereka terima sebagai orang Kristen. Perikop hari ini menunjukkan kepada kita bagaimana agama dan keimaman yang lebih terdahulu digenapi di dalam Yesus, Mesias yang rela mengorbankan diri-Nya sendiri dan Imam Besar. Penulis Ibrani menegaskan bahwa Yesus, Imam Besar yang baru, lebih unggul daripada Imam Besar yang lama karena tiga alasan: a) Yesus tidak dapat mati sehingga tidak perlu digantikan dari generasi ke generasi. b) Yesus tidak berdosa sehingga tidak perlu mempersembahkan korban untuk dosa-dosa pribadi. c) Imam-imam Yahudi diangkat berdasarkan Hukum Taurat, tetapi Yesus diangkat berdasarkan firman Allah.
Bacaan Injil, Mrk. 12:28b-34.
Konteks Bacaan Injil hari ini adalah minggu-minggu terakhir kehidupan dan pelayanan Yesus di depan umum, di mana Ia dihadapkan pada beberapa kelompok pemimpin agama – pertama-tama oleh imam kepala, ahli Taurat dan tua-tua yang mempertanyakan otoritas-Nya; kemudian oleh orang-orang Farisi yang berusaha membuat orang lain melawan-Nya dengan menjerat-Nya dalam sebuah kontroversi; dan akhirnya oleh orang-orang Saduki, yang berusaha membuat-Nya terlihat bodoh dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan. Dalam setiap kasus, Yesus menjawab dengan hikmat dan kuasa yang begitu kuat sehingga semua lawan-Nya tertegun takjub. Mereka telah datang untuk beradu akal dengan Anak Allah – dan kalah dalam setiap perjumpaan! Seorang ahli Taurat, yang percaya kepada Hukum Taurat dan tradisi lisan, sangat senang melihat kekalahan yang dialami Yesus atas orang-orang Saduki yang mengajukan kasus hipotetis tentang seorang perempuan yang telah menikah dengan tujuh orang suami. Mereka bertanya kepada Yesus, siapakah yang akan menjadi suaminya di dunia yang akan datang? Jawaban Yesus, bahwa kehidupan di Surga tidak seperti itu, dan bahwa mereka “sangat keliru” dalam pandangan mereka, mengakhiri serangan itu. Bagi para ahli Taurat, Hukum Taurat adalah wahyu terbesar, terlengkap, dan paling sempurna dari kehendak Allah yang pernah diberikan. Namun, dalam Yudaisme pada zaman Yesus, ada dua kecenderungan: memperluas Hukum Musa menjadi ratusan aturan dan peraturan dan memadatkan 613 ajaran Taurat menjadi satu kalimat. Daud meringkas Hukum Taurat menjadi 11 pernyataan (Mzm. 15), Yesaya meringkasnya menjadi enam (Yes. 33:15) dan kemudian menjadi dua (Yes. 56:1), Mikha meringkasnya menjadi tiga (Mi. 6:8), dan Habakuk meringkasnya menjadi satu: “orang benar akan hidup oleh karena imannya” (Hb. 2:4). Para rabi Yahudi yang terkenal juga mencoba meringkas ajaran-ajaran ini. Jadi, wajar jika seorang ahli Taurat meminta Yesus untuk meringkas ajaran-ajaran terpenting dari Hukum Taurat dalam satu kalimat.
Kontribusi baru dari Yesus: Yesus memberikan jawaban yang lugas, mengutip langsung dari Hukum Taurat itu sendiri. Hal itu mengejutkan mereka, dan menunjukkan kesederhanaan dan penguasaan Yesus yang mendalam akan hukum Allah dan tujuannya. Mengutip kalimat pertama dari Shema Yahudi: “Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan, Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6:4), Yesus kemudian menambahkan hukum yang melengkapinya: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”(Lukas 19:18). Kontribusi Yesus adalah menggabungkan hukum-hukum yang awalnya terpisah dan menyajikannya sebagai inti dari agama yang sejati. Agama yang sejati, kata Yesus, adalah mengasihi Allah di dalam diri-Nya sendiri, dan mengasihi sesma melalui pelayanan yang penuh kasih. Artinya, satu-satunya cara seseorang dapat menunjukkan kasih yang sejati kepada Tuhan adalah dengan menunjukkan kasih yang tulus dan aktif kepada sesama. “Hukum yang terutama dalam Taurat” sebenarnya ada tiga: Kita diperintahkan untuk (1) mengasihi Allah, (2) mengasihi sesama, dan (3) mengasihi diri kita sendiri. Kita harus mengasihi Allah, karena dengan mengasihi Dia, kita dibawa kepada kesempurnaan gambar-Nya di dalam diri kita. Kita harus mengasihi sesama kita dan diri kita sendiri, karena kita semua menyandang gambar Allah, dan menghormati gambar Allah berarti menghormati Dia yang telah menciptakannya. Kita harus mengasihi sesama dan diri kita sendiri sebagai cara untuk mengasihi Allah: Allah memberi kita sesama untuk dikasihi agar kita dapat belajar untuk mengasihi Dia.
Ahli Taurat itu sangat terkesan dengan pemahaman Yesus tentang Hukum Taurat sehingga ia berkata: “Tepat sekali, Guru, benar kata-Mu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan,” (Mrk 12: 32 – 33).Komentar ahli Taurat bahwa kasih kepada Allah dan sesama “lebih berharga dari pada segala korban bakaran dan korban sembelihan,” memiliki bobot khusus karena ia mungkin datang ke Bait Allah untuk mempersembahkan kurban, cara yang biasa dilakukan oleh orang Israel untuk mengekspresikan penyembahan dan komitmen religius mereka. Yesus menegaskan hal ini. Melihat ahli Taurat itu“menjawab dengan bijaksana, [Yesus] berkata kepadanya: ‘Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah’.”
Kasihilah sesamamu seperti kamu mengasihi dirimu sendiri: Perintah untuk mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri kita sendiri adalah perintah yang sangat berat. Sangat sulit bagi orang-orang Yahudi pada zaman Yesus karena mereka menganggap bahwa hanya sesama orang Yahudi, yang menaati Hukum Taurat, yang dapat dianggap sebagai sesama mereka. Itulah sebabnya, segera setelah menjelaskan perintah penting ini, Yesus menceritakan perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati, seperti yang ditulis dalam Injil Lukas. Dia ingin mengajarkan kepada para pendengar-Nya bahwa kita semua membutuhkan sesama kita. Kasih kepada sesama adalah tindakan, bukan perasaan. Itu berarti berbagi dengan orang lain kasih dan bela rasa yang sebenarnya tidak pantas kita terima namun dilimpahkan oleh Allah kepada kita. Inilah kasih kepada sesama yang diperintahkan oleh Allah dalam hukum-Nya. Seringkali para pengkhotbah berkata tentang mengasihi diri sendiri dan mengembangkan harga diri serta kehormatan diri sebagai prasyarat untuk mengasihi sesama. Tetapi Yesus tidak menganjurkan untuk mengasihi diri sendiri, Ia hanya mengakui kecenderungan alamiah kita untuk selalu mencari “yang nomor satu”, lalu meminta kita untuk mengulurkan kasih yang sama kepada orang lain. Tetapi ketika kita mulai mempraktikkan perintah terbesar ini, kita menemukan bahwa ada kekurangannya – dan kekurangan itu bukan pada perintah itu, tetapi pada diri kita sendiri. Kita dengan cepat menemukan bahwa kita tidak dapat mengasihi Allah atau sesama kita sebagaimana seharusnya. Solusinya terletak pada “perintah baru” yang akan Yesus berikan kepada para Rasul dan kepada kita pada Perjamuan Terakhir menjelang Sengsara: “Kasihilah seorang akan yang lain seperti Aku telah mengasihi kamu.” Tidak lagi kasih kepada diri sendiri yang menjadi ukuran kasih kita kepada sesama, sebuah standar yang subjektif. Sekarang standarnya adalah standar objektif, yaitu sejauh mana kasih Yesus kepada kita dan bagaimana Dia menunjukkan kasih-Nya yang tak terbatas – “bahkan sampai mati, mati di kayu salib ” (Flp. 2:8).
Berdamai dengan sesama dan juga dengan Allah: Kita diminta untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, dan dengan segenap akal budi, dan kekuatan manusia. Karena Allah hadir di dalam diri setiap orang, maka setiap dosa terhadap orang lain menjadi dosa terhadap Allah. Oleh karena itu, tidaklah cukup untuk diperdamaikan dengan Allah melalui pertobatan. Kita harus mendapatkan pengampunan dari, dan berdamai dengan, orang yang telah kita lukai. “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah‘, tetapi ia membenci saudaranya, ia adalah pendusta, sebab barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang telah dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya “ (1 Yohanes 4:20).
“Tidak ada perintah lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Hal ini berarti bahwa semua perintah lainnya adalah penjabaran dari kedua perintah ini. Sepuluh Perintah Allah didasarkan pada prinsip penghormatan kepada Allah dan menghormati sesama. Oleh karena itu, tiga Perintah pertama memerintahkan kita untuk menghormati Tuhan, Nama Kudus-Nya dan Hari Kudus-Nya, dan Perintah-perintah yang lain meminta kita untuk menghormati orang tua kita dan menghormati kehidupan, kehormatan, harta benda, dan nama baik orang lain.
Pesan-Pesan Sabda Allah untuk Hidup Kita
Bagaimana kita mengasihi Tuhan? Ada beberapa cara yang dapat kita gunakan untuk mengekspresikan kasih kita kepada Allah dan rasa syukur kita kepada-Nya atas berkat-berkat-Nya, dengan mengakui ketergantungan kita sepenuhnya kepada-Nya. Kita harus menaati perintah-perintah Allah, dan memanjatkan doa-doa syukur, pujian, penyesalan, dan permohonan setiap hari. Kita juga perlu membaca dan merenungkan firman-Nya dalam Kitab Suci dan dengan menghadiri Ekaristi serta kegiatan-kegiatan liturgis lainnya. Jika saya ingin mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan saya, maka saya harus menempatkan kehendak-Nya di atas kehendak saya. Ini berarti bahwa saya harus mengatakan tidak pada beberapa hal yang mungkin ingin saya lakukan. Ini juga berarti bahwa saya harus mencari kehendak Tuhan, dan kemudian melakukannya, sebagai hal yang terpenting dalam hidup saya. Secara keseluruhan, mengasihi Tuhan berarti kita membuka hati kita, memberikan kehendak kita kepada-Nya, mengembangkan pikiran kita, menguatkan kehendak kita, mengarahkan emosi kita, menggunakan tubuh kita, dan mengerahkan sumber daya kita dengan cara-cara yang menyatakan kasih kita kepada-Nya dalam pelayanan yang aktif dan penuh kasih kepada-Nya dan kepada setiap orang yang kita temui.
Mengasihi sesama kita: Karena setiap manusia adalah anak Allah dan tempat kediaman Roh Allah, maka kita sebenarnya sedang menyatakan kasih kita kepada Allah dengan mengasihi sesama kita sebagaimana Yesus mengasihi kita. Ini berarti kita harus menolong, mendukung, mendorong, mengampuni, dan mendoakan semua orang tanpa diskriminasi berdasarkan warna kulit, ras, jenis kelamin, usia, kekayaan, atau status sosial. Jika saya ingin mengasihi sesama saya seperti saya mengasihi diri saya sendiri, atau lebih baik lagi, seperti Yesus yang lebih dahulu mengasihi saya, maka saya juga harus mengasihi diri saya sendiri! Saya mungkin harus mencari pengampunan ketika saya merasa tidak melakukan kesalahan. Saya mungkin harus mengorbankan sesuatu yang saya pikir saya perlukan untuk memenuhi kebutuhan salah seorang saudara. Saya mungkin harus mengorbankan waktu untuk menolong seseorang. Saya mungkin harus meluangkan waktu untuk berdoa bagi orang lain, mendatangi mereka, dan menjangkau mereka dalam nama Tuhan.
Pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada diri kita sendiri setiap hari: Apakah sudah sungguh-sungguh mengasihi Tuhan? Apakah saya berdoa kepada-Nya sebagaimana mestinya? Apakah saya berada di dalam Firman-Nya sebagaimana mestinya? Apakah ada orang atau hal-hal yang telah menyelinap masuk dan mengambil alih tempat pertama dalam hidup saya? Apakah Yesus menjadi prioritas saya atau di belakang seseorang, sesuatu, atau bahkan diri saya sendiri? Bagaimana dengan kasih saya kepada orang lain? Seberapa besar kasih saya kepada anggota keluarga saya, kepada tetangga saya, kepada anggota komunitas paroki saya? Jawaban dari semua pertanyaan ini akan membantu kita untuk mengukur tingkat kasih kita kepada Allah, dan dengan rahmat-Nya, untuk menyesuaikan hidup kita.