Sabda Hidup
Senin, 23 Agustus 2021, Senin Pekan Biasa XXI
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik!”
(Mat 23: 13)
Setiap hari kita melihat penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan dalam agama, pemerintahan dan di lembaga-lembaga lainnya, menampilkan wajah dari segala jenis keserakahan dan korupsi yang merusak tatanan masyarakat. Posisi pelayanan disalahgunakan menjadi alat untuk mengeruk keuntungan pribadi, seringkali dengan mengorbankan yang paling lemah dan paling membutuhkan. Negara-negara yang sejak lama seharusnya makmur sejahtera dan mampu menyediakan kehidupan berkualitas tinggi bagi rakyatnya, namun banyak rakyat hidup sengsara, sementara sekelompok kecil elit hidup dalam kemewahan tanpa rasa malu.
Gereja pun dapat jatuh dalam kecenderungan untuk terlalu mementingkan uang dengan mengorbankan misi pastoralnya. Keuskupan, paroki, uskup atau imam yang memperkaya diri di tengah dunia yang penuh kemiskinan adalah batu sandungan utama bagi Injil Kristus.
Dalam Injil hari ini Yesus yang selalu tenang dan penuh kasih, marah pada eksploitasi dan ketidakadilan semacam ini. Dia mengkritik ahli Taurat dan orang Farisi, menyebut mereka munafik dan mengecam mereka. Dengan dalih melaksanakan hukum dan aturan-aturan, orang-orang Farisi menemukan keuntungan politik dan ekonomi. Mereka menuntut agar orang lain juga menempatkan diri mereka di bawah hukum. Tetapi hanya merekalah yang memiliki hak untuk menafsirkan hukum itu demi keuntungan mereka. Oleh karena itu, hukum menjadi alat untuk penindasan politik dan ekonomi. Yesus ingin membebaskan semua orang dari perbudakan hukum. Tentu saja Ia menghendaki pelaksanaan hukum, namun sikap terhadap hukum harus diubah. Hukum yang telah menjadi tuan atas manusia harus dijadikan pelayan. Manusia harus bertanggung jawab atas hukum, dan harus menggunakan hukum untuk melayani kebutuhan umat manusia. Hukum dan aturan perlu dipatuhi. Tapi hukum harus melayani kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
Bagaimanakah sikap kita? Kekudusan dan praktek kesalehan harus memampukan kita untuk lebih mengasihi.
“Wearing the label ‘Christian’ or ‘Catholic’ is not enough to belong to Jesus. We need to speak the same language as Jesus: that of love. Mengenakan label ‘Kristen’ atau ‘Katolik’ tidak cukup untuk menjadi milik Yesus. Kita perlu berbicara dalam bahasa yang sama dengan Yesus: bahasa kasih.”
Paus Fransiskus.
Bacaan hari ini: 1Tes. 1:2b-5,8b-10; Mzm. 149:1-2,3-4,5-6a,9b; Mat. 23:13-22.