Remah Mingguan

DIANGKAT KARENA KERENDAHAN HATI

Pinterest LinkedIn Tumblr

Sabda Hidup

Minggu, 14 Agustus 2022, Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat Ke Surga
Bacaan: Why. 11:19a; 12:1-6a,10abMzm. 45:10bc,11,12ab1Kor. 15:20-26Luk. 1:39-56.

“Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus.”

(Luk 1: 46 – 49).

Kita gembira bahwa Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga ini diselenggarakan pada hari Minggu, sehingga lebih banyak umat dapat ikut merayakannya. Kalau kita merayakannya besok pada hari Senin, 15 Agustus, bisa dipastikan hanya sedikit orang yang hadir dalam perayaan Ekaristi. Apalagi semua sedang sibuk dengan pelbagai kegiatan menjelang Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Hari Raya Maria Diangkat ke Surga merupakan salah satu perayaan Maria terpenting. Kita, umat Katolik percaya bahwa St. Perawan Maria diangkat ke surga. Kita percaya bahwa ketika hidupnya di dunia berakhir, Maria, diangkat ke dalam kemuliaan surgawi baik tubuh maupun jiwanya, di mana ia diangkat sebagai Ratu Alam Semesta.

“Akhirnya Perawan tak bernoda, yang tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat memasuki kemuliaan di surga beserta badan dan jiwanya. Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya, Tuan di atas segala tuan, yang telah mengalahkan dosa dan maut.”

(KGK 966)

Dengan diangkat ke surga, Maria dibebaskan dari kematian dan kemusnahan badani yang merupakan akibat dari dosa asal. Perayaan ini juga menunjukkan bahwa Gereja secara resmi mengakui kepercayaan umat Kristiani selama berabad-abad tentang Pengangkatan Ibu Surgawi kita. Dalam Gereja Orthodox, koimesis, atau dormitio, (“jatuh tertidur”) Santa Perawan Maria diperingati pada tanggal 15 Agustus sejak abad ke-6. Tradisi tersebut perlahan-lahan menyebar ke Barat, yang kemudian kita kenal sebagai Hari Raya Maria Diangkat ke Surga. Pada abad ke-13, kepercayaan tersebut diterima oleh para teolog Katolik dan kemudian menjadi objek populer para pelukis Renaissance dan Barok. Akhirnya Pada tanggal 1 November 1950, Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, ditetapkan sebagai Dogma, oleh Paus Pius XII, dalam Konstitusi Apostolik Munificentimus Deus.

Dalam Perayaan ini, kita mencoba menjawab dua pertanyaan penting: pertama, apa artinya “diangkat ke surga” dan kedua, mengapa kita percaya bahwa Maria diangkat ke surga, kendati tidak ada rujukannya dalam Kitab Suci? Diangkat ke surga, berarti bahwa sesudah kematiannya, Maria diangkat ke surga baik badan maupun jiwanya, sebagai anugerah atas pengorbanannya dalam kerjasamanya dalam rencana keselamatan. “Pada hari raya ini, marilah kita bersyukur kepada Tuhan karena telah memberikan kita seorang Ibu, dan mari kita berdoa kepada Maria agar menolong kita menemukan jalan yang benar setiap hari,” kata Paus Benediktus XVI.

Meskipun tidak ada rujukan langsung tentang wafat Bunda Maria dan pengangkatannya ke surga dalam Perjanjian Baru, ada dua kejadian dalam Perjanjian lama di mana seseorang diangkat ke surga, yakni Henokh (Kejadian 5: 24) dan Elia (2 Raja-Raja 2: 1). Dua hal ini memperkuat “kemungkinan” pengangkatan Maria ke surga. Pengangkatan ragawi ke surga juga secara tidak langsung disebut dalam Injil Matius 27: 52 – 53 dan 1 Korintus 15: 23 – 24.

Meskipun Perjanjian Baru tidak secara eksplisit menegaskan pengangkatan Maria ke surga, Perjanjian Baru menunjukkan dasar atau alasan mengapa Maria diangkat ke surga yakni persatuannya yang sempurna dengan hidup Yesus. Persatuan itu, yang dinyatakan sejak Sang Juruselamat dikandungnya, dalam seluruh karya penebusannya. Karena disatukan dengan sempurna dengan hidup dan karya penyelamatan Yesus, Maria mengambil bagian dalam kemuliaan Surgawi baik jiwa maupun badannya.

Barangkali kebanyakan dari kita kemudian berpikir bahwa pengangkatannya ke Surga itu adalah sesuatu yang ia peroleh, sesuatu yang layak dan dicapai oleh dirinya sendiri. Bukankah dia adalah Bunda Allah? Bukankah dia adalah teladan murid Yesus yang sejati? Pantas saja ia diangkat ke surga baik badan dan jiwanya. “Ada harus….” kata orang Papua. Barangkali ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya dan tidak tepat menggambarkan mengapa Allah menganugerahkan kepenuhan rahmat itu kepada Maria.

Kunci untuk memahami pengangkatan Maria ke surga dan semua misteri kehidupannya ditemukan dalam kerendahan hatinya dan selalu menunjuk pada kerahiman Allah. Keseluruhan dirinya dan semua yang dapat ia lakukan untuk kita bukan dari dirinya sendiri, tetapi dari Allah yang adalah Kasih dan Kerahiman. Ia dipilih bukan karena ia berhak dan layak, tetapi karena Allah berbelaskasih kepadanya dan memandang kerendahan hatinya. Hal ini sungguh nampak dalam kidung yang didendangkannya:  “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan perbuatan-perbuatan besar kepadaku dan nama-Nya adalah kudus,” (Luk 1: 46 – 49).

Maria sungguh-sungguh rendah hati, dan ia menunjukkannya dengan kasih, hormat dan bahkan ketaatannya kepada Puteranya. Ia dapat saja “memaksa-Nya” karena ia adalah ibu-Nya! Ia, dari segala ciptaan, adalah gambaran sempurna Kristus. Maka setiap orang yang mengaku murid Kristus harus memandang dirinya dengan standard Maria. Jika orang itu tidak meneladan Maria dan mengasihi Maria, maka ia bukan dari Yesus Kristus.

Hari Raya Maria diangkat ke surga tetap menjadi pengingat bagi kita, untuk melihat kembali kerendahan hati kita. Kerendahan hati adalah fondasi dan tempat persemaian keutamaan-keutamaan yang lain dan sarana yang efektif bagi kita untuk membuka diri bagi rahmat Allah.

Apakah kita menjadi alat belas kasih Allah melalui usaha kita melaksanakan perintah-perintah-Nya? Atau justru kita menjadi penghalang bagi rahmat-Nya? Apakah kita patuh dan taat kepada Dia yang dapat kita jumpai dalam Sabda, Ekaristi, dan dalam Gereja? Atau kita bersikukuh karena merasa sudah “tahu segalanya”? Apakah kita selalu siap sedia dan sadar untuk melayani sesama seperti Maria melayani Elisabeth sanaknya itu? Dalam kehidupan kita, nyanyian apa yang kita kumandangkan, tentang diri sendiri atau tentang kebesaran Allah?

Author

Write A Comment