Sabda Hidup
Kamis, 5 Desember 2024, Kamis Pekan Advent I
Bacaan: Yes. 26:1-6; Mzm. 118:1,8-9,19-21,25-27a; Mat. 7:21,24-27.
Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.” (Mat 7: 24 – 25)
Bacaan Injil hari ini mengingatkan kita tentang apa artinya menjadi murid yang sejati. Yesus menyatakan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, yang akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Pernyataan yang serius ini menantang kita untuk bergerak dari sekadar pengakuan verbal bahwa Kristus adalah Tuhan, menuju kehidupan yang ditandai dengan ketaatan yang sejati. Dari kata-kata menuju tindakan konkret dalam mengikuti Yesus.
Perumpamaan yang disampaikan menekankan pentingnya membangun kehidupan seseorang di atas fondasi yang kokoh dari ajaran-ajaran Yesus. Seorang yang bijaksana yang mendengar dan menaati perkataan Yesus diibaratkan sebagai orang yang membangun di atas batu karang, yang memastikan stabilitas dan daya tahan dalam menghadapi badai kehidupan.
Sebaliknya, seorang yang bodoh, yang mendengar tetapi tidak melakukan perkataan Yesus, diibaratkan seperti orang yang membangun di atas pasir. Ketika badai datang, fondasi menjadi tidak stabil, yang menyebabkan runtuhnya bangunan. Gambaran yang jelas ini menggambarkan konsekuensi yang mengerikan dari iman yang tidak memiliki ketaatan.
Penekanan pada mendengar dan melakukan menyoroti hubungan yang tak terpisahkan antara iman dan tindakan. Yesus menginginkan lebih dari sekadar basa-basi; Ia menghendaki respons transformatif yang diwujudkan dalam ketaatan kepada ajaran-Nya.
Perbedaan antara kedua pembangun rumah ini bukan terletak pada pengakuan mereka akan Yesus, tetapi pada respons mereka terhadap perkataan-Nya. Pemuridan yang sejati adalah menyelaraskan hidup kita dengan prinsip-prinsip Kerajaan Allah, mengizinkan ajaran-ajaran Yesus membentuk karakter, keputusan, dan prioritas kita.
Ketika kita merenungkan ayat-ayat ini, kita diminta untuk menilai fondasi iman kita. Apakah kita membangun hidup kita di atas batu karang yang kokoh dari ajaran Kristus, atau kita membangunnya di atas pasir yang labil yakni pengakuan di mulut belaka? Kiranya iman kita dicirikan oleh komitmen yang tulus untuk menaati firman Kristus, memastikan bahwa hidup kita berdiri teguh, tidak tergoyahkan oleh badai yang pasti akan datang.
Tuhan, di tengah badai dan ketegangan zaman ini, kiranya iman kami tidak pernah goyah, tetapi berikanlah kami keberanian untuk hidup seperti yang kami yakini, secara konsisten dan radikal, agar bersama Putra-Mu kami dapat melakukan kehendak-Mu. Amin.