Sabda Hidup
Senin, 20 Juni 2022, Senin Pekan Biasa XII
Bacaan: 2Raj. 17:5-8,13-15a,18; Mzm. 60:3,4-5,12-13; Mat. 7:1-5.
“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.”
(Mat 7: 1)
Menurut cerita Aesop (620 – 560 SM), setiap manusia lahir di dunia dengan dua kantong tergantung di lehernya, satu di depan dan satu di belakang. Kedua kantong itu penuh dengan kesalahan-kesalahan. Kantong yang berada di depan penuh dengan kesalahan sesama; sedangkan yang berada di belakang penuh dengan kesalahan sendiri. Itulah sebabnya, manusia buta dengan kesalahan-kesalahan sendiri tetapi selalu melihat kesalahan orang lain. Dengan kata lain, setiap orang mempunyai kecenderungan untuk menghakimi orang lain atau ingin mengkritik, tetapi tidak ingin dihakimi atas cara yang sama.
Hari ini Tuhan bersabda: “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” Kita mungkin akan menafsirkan sabda itu bahwa kita diberitahu supaya kita tidak menghakimi orang lain dan dengan demikian lebih baik kita mengurus urusan kita sendiri. Di sinilah kita dapat jatuh pada godaan atau ekstrim yang lain dari kecenderungan mengadili, yaitu ketidakpedulian. Kemudian kita berkata: “Itu bukan urusan saya, mengapa repot-repot?” “Saya tidak ingin mengatakan apa-apa. Toh saya jatuh dalam kesalahan yang sama.” Mungkin kita tergoda untuk mengatakan: “Ah, biar saja, itu kan urusan mereka. Saya sibuk dengan urusan saya.”
Jika kita cermati, komentar-komentar seperti itu bukanlah menghindari kecenderungan menghakimi orang lain, tetapi menempatkan diri sendiri menjadi pusat segala sesuatu. Sering kali, kita sibuk dengan kesalahan orang lain, sehingga mengabaikan pelanggaran kita sendiri yang lebih serius. Kita ingin membangun pencitraan yang lebih baik dan menyembunyikan kelemahan kita.
Merenungkan sabda Tuhan hari ini, kita sadar bahwa mengenali dan mengkritik kesalahan orang lain tidak dilarang. Bahkan dalam teks Injil lainnya Yesus mendorong kita untuk memberikan koreksi persaudaraan (correctio fraterna) [Mat 18: 15 dst]. Jadi yang mau disampaikan adalah bahwa kita tidak boleh memberikan penilaian dalam semangat arogansi, lupa akan kesalahan dan kekurangan diri sendiri. Kita dipanggil untuk mengasihi, bukan acuh tak acuh.
Kunci dari semua itu adalah kerendahan hati. Jika kita cukup rendah hati, kita dapat melihat dengan jelas ke dalam diri kita dan mengakui kekurangan dan kesalahan kita. Kita mungkin lebih buruk dari saudara-saudari kita, tetapi itu seharusnya tidak menghalangi kita untuk menyatakan kasih kita kepada mereka, dengan mengoreksi kesalahan atau kekurangan mereka. Memberitahu orang lain tentang kesalahan mereka dengan rendah hati adalah ekspresi kasih kita. Atas cara yang sama, ketika orang lain mengkritik, mengoreksi kesalahan kita, itu adalah kasih yang dinyatakan kepada kita. Dengan demikian, dasar dari semua itu adalah kasih.
“Fraternal love is the nearest testimony that we can give that Jesus is alive among us,” kata Paus Fransiskus. Kasih persaudaraan adalah kesaksian terdekat yang dapat kita berikan bahwa Yesus hidup di tengah-tengah kita.