Sabda Hidup
Selasa, 8 Maret 2022, Selasa Pekan Prapaskah I
Bacaan: Yes. 55:10-11; Mzm. 34:4-5,6-7,16-17,18-19; Mat. 6:7-15.
“Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.”
(Mat 6: 9 – 13)
Bagaimanakah anda berdoa? Banya orang berdoa dari buku; yang lainnya berdoa Rosario; yang lain lagi berdoa dengan mantra; lainnya lagi berdoa dalam diam tanpa kata-kata. Ada yang berdoa sambil duduk, ada yang berdiri, ada yang berdoa di mikrolet atau di mana saja. Yang lain merasa bahwa berdoa itu harus di dalam gedung gereja, di depan patung Tuhan Yesus atau orang kudus lainnya, dan macam-macam cara lainnya.
Dalam Injil hari ini Yesus menunjukkan kepada kita, bahwa gambaran kita akan Allah, cara kita berrelasi dengan-Nya, mempengaruhi cara kita berdoa. Yesus sendiri berdoa dengan cara yang sangat sederhana, sangat akrab, mengalir dari relasi cinta-Nya dengan Allah. Ketika ia menyapa “Bapa”, ia menyatakan cinta-Nya kepada Bapa, kebebasan-Nya untuk mengatakan dengan penuh percaya tentang ketakutan dan harapan-Nya, iman-Nya sebagai Putera terkasih Bapa. Ia menunjukkan wajah Allah yang lain, selain sebagai Raja, Hakim, Pencipta seperti ditunjukkan dalam Perjanjian Lama.
Bagaimana saya berdoa? Bagaimanakah saya menggambarkan Allah dalam hidup keseharian saya? Ia yang menghukum, menuntut, selalu mengawasi setiap kesalahan yang saya buat? Atau Bapa yang mencintaiku yang penuh kasih dan mendambakan kebahagiaan dan kesejahteraanku? Belajar dari Yesus, kini kita dapat memandang Allah sebagai Bapa, dan berdoa seperti seorang anak yang duduk dipangkuan bapanya, aman dalam kepastian akan kasih-Nya, percaya akan perhatian dan perlindungan-Nya entah apapun yang terjadi, berani menyatakan apa yang ada dalam hati kita, percaya bahwa Ia mendengarkan. Kita juga dapat mendengarkan detak Hati-Nya serta pengampunan-Nya, memberi kita keberanian untuk memaafkan mereka yang telah menyakiti kita. Kita dapat menerima karunia Roh Kudus yang menunjukkan kepada kita bagaimana menjadi anak-anak-Nya yang terkasih. Ini sungguh merupakan kabar baik!
Doa yang sejati tidak mencoba untuk memaksa Tuhan. Doa yang diajarkan oleh Yesus adalah contoh terbaik. Saya berdoa pertama-tama untuk “urusan” Allah agar Kerajaan-Nya datang dan bertumbuh, serta kasih-Nya menguasai seluruh alam semesta. Saya berdoa agar kehendak-Nya terlaksana, bukan kehendak saya. Søren Kierkegaard berkata: “Doa tidak mengubah Tuhan, tetapi mengubah orang yang berdoa.”
Setelah semuanya itu barulah saya dapat menyampaikan permohonan sederhana saya, makanan, rejeki yang secukupnya, pengampunan atas dosa-dosa saya karena saya telah mengampuni orang lain sehingga Kerajaan-Nya dapat tumbuh dalam diri saya. Untuk masa depan saya, saya meminta perlindungan dari jerat si jahat yang berusaha terus-menerus untuk menjauhkan saya dari Kerajaan-Nya. Doa yang sejati berkaitan dengan Allah, bukan dengan saya. Doa sejati mengarah kepada-Nya, bukan mengarah pada diri sendiri. Doa sejati mengubah saya.
Bagaimana anda berdoa?