Sabda Hidup
Minggu, 11 Agustus 2024, Minggu Biasa XIX Tahun B
Bacaan: 1Raj. 19:4-8; Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9; Ef. 4:30-5:2; Yoh. 6:41-51.
Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yoh 6: 51).
Kita sebagai orang-orang Katolik yang saleh, harus rajin menghadiri Misa, tak boleh melewatkan Misa. Benar bukan? Masih ingat lima perintah Gereja? Perintah yang kedua berbunyi: “Ikutilah perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan pada hari raya yang diwajibkan; dan janganlah melakukan pekerjaan yang dilarang pada hari itu.” Bahkan ketika kita mengalami masa pandemi beberapa tahun lalu, ketika kita tidak dapat mengikuti Misa secara offline di gereja, kita berusaha menghadiri Misa secara online.
Suatu hari Minggu, sebuah komunitas para suster tidak Misa. Setiap hari Minggu jam 08.00 ada seorang pastor yang datang untuk mempersembahkan Misa di komunitas itu. Nah pada hari itu, pastor yang biasa datang untuk mempersembahkan misa sedang sakit, maka ia meminta seorang pastor dari Nigeria yang sedang berkunjung ke biaranya untuk menggantikannya. Maka pada pukul 07.55 pastor Nigeria itu sudah sampai di depan pintu biara suster-suster tersebut. Kebetulan, jubahnya belum dia pakai, sehingga ia berpakaian “preman”. Dia pencet tombol bel tamu. Seorang suster bergegas membuka pintu. “Ini pasti pastor yang biasa misa di sini,” pikirnya. Ketika dia membuka pintu dan melihat seorang berkulit hitam di hadapannya dia terkejut. Tanpa bertanya dulu ia berkata: “Maaf pak, kami tidak dapat membantu anda, kami akan misa sekarang ini. Nanti bisa kembali lagi lain kali ya….” “Baik, terima kasih Suster….” Jawab pastor Nigeria itu. Ia kemudian kembali ke biara. Tak lama kemudian telpon di biara berdering. Suster-suster menelpon dan mengatakan bahwa mereka menunggu pastor untuk misa apakah ia akan datang. “Dia sudah datang,” kata pastor yang mengangkat telpon, “tetapi tadi disuruh pergi dan katanya disuruh datang lagi lain kali.”
Gara-gara salah sangka, suster-suster “bolos” misa. Pastor yang datang tidak seperti yang mereka harapkan. Realitas yang ada di hadapan mereka berbeda dengan yang mereka bayangkan. Itulah yang dialami oleh orang-orang Yahudi pada masa Yesus. Mereka mengenal Yesus. “Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapanya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun dari sorga?” demikian kata mereka ketika mendengar Yesus berkata: “Akulah roti yang turun dari surga.” Bagaimana mungkin seorang tukang kayu dari Nazaret memenuhi apa yang mereka butuhkan? Mereka tahu “rasa lapar” mereka tetapi mereka bersikukuh bahwa Yesus tidak mungkin dapat memenuhi “rasa lapar” mereka!
Jangan-jangan, itu juga sering kali menjadi sikap kita! Bukankah itu sikap kita ketika kita merasa baik-baik saja, ketika semuanya OK-OK saja, ketika kita “kenyang”, ketika kita merasa kuat, sehingga kita lupa pada “makanan yang sejati” – lupa pada kekuatan yang sejati. Barangkali itulah sebabnya, pengaruh Yesus terasa lebih kuat di tengah-tengah mereka yang miskin, sakit, terpinggirkan, tersingkir dan terbelenggu. Saat kita lemah “makanan rohani” terasa lebih menarik.
Kita-kita yang merasa kuat dan berkelimpahan perlu diingatkan bahwa kita telah dipenuhi dengan “nutrisi palsu” dunia. Sama seperti tubuh fisik kita membutuhkan makanan untuk hidup, kita juga membutuhkan makanan yang lain agar roh dan jiwa kita dapat terus hidup. Makanan untuk kehidupan rohani kita sungguh istimewa, Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi Kudus. Seperti Elia membutuhkan makanan yang diberikan oleh malaikat untuk perjalanannya, kita membutuhkan makanan untuk peziarahan kita. Yesus memberikan nutrisi yang kita perlukan, untuk perjalanan panjang kita, perjalanan menuju kehidupan yang kekal. Yesus memberi roti hidup tidak hanya untuk memuaskan rasa lapar tetapi juga untuk memungkinkan kita menyelesaikan tugas kita, menyelesaikan suatu perjalanan, perjalanan menuju keselamatan.
Akan tetapi perlu kita ingat bahwa Yesus berkata: “Roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” Bukan untuk hidupku saja. Bukan untuk hidup kelompok saya saja. Bukan hanya untuk kita sendiri, tetapi untuk hidup dunia. Menurut homili Paus Fransiskus di bawah ini, bagaimanakah Yesus terus memberikan daging-Nya untuk kehidupan dunia dan mengubahnya melalui kita?
Tuhan tidak menuntut korban, tetapi mengorbankan diri-Nya sendiri. Tuhan tidak meminta apa-apa selain memberikan segalanya. Dalam merayakan dan mengalami Ekaristi, kita juga dipanggil untuk berbagi dalam kasih ini. Karena kita tidak dapat memecahkan roti pada hari Minggu jika hati kita tertutup bagi saudara-saudari kita. Kita tidak dapat mengambil bagian dari Roti itu jika kita tidak memberikan roti kepada orang yang lapar. Kita tidak dapat berbagi Roti itu kecuali kita berbagi penderitaan saudara dan saudari kita yang membutuhkan. Pada akhirnya, dan juga pada akhir liturgi Ekaristi kita, hanya cinta yang tersisa. Bahkan sekarang, perayaan Ekaristi kita sedang mengubah dunia sejauh kita membiarkan diri kita diubah dan menjadi roti bagi orang lain.
… Kita dipanggil untuk pergi keluar dan membawa Yesus kepada orang lain. Untuk pergi keluar dengan antusias, membawa Kristus kepada orang-orang yang kita temui dalam kehidupan kita sehari-hari. Semoga kita menjadi Gereja dengan kendi di tangan, Gereja yang membangkitkan kembali dahaga dan membawa air.
(Homili Paus Fransisku pada Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus, 6 Juni 2021).
Allah, Bapa yang memberi hidup, Anak-Mu Yesus adalah roti hidup kami yang turun dari-Mu untuk memberikan kehidupan kepada kami dan dunia kami. Biarlah Dia memulihkan kekuatan dan keberanian kami saat kami berjalan bersama-Nya melalui kehidupan, dan berikanlah kepada kami kehendak dan kasih untuk berbagi dengan mereka yang berkebutuhan, karena di dalam diri mereka, Yesus menyerukan rasa lapar-Nya. Amin.