“Ia mengutus mereka untuk memberitakan Kerajaan Allah dan untuk menyembuhkan orang, jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju,” (Luk 9: 2 – 3)
Membaca Sabda Tuhan hari ini membuat saya heran. Para murid diutus untuk pelayanan, tetapi Yesus melarang mereka membawa perbekalan.
Saya teringat saat bertugas di pedalaman Papua. Umat tinggal di kampung-kampung yang jauh dan tersebar di pelbagai wilayah. Untuk melayani umat maka saya perlu mengadakan perjalanan (biasa kami sebut ‘patroli’) dari kampung ke kampung. Patroli bisa ditempuh dalam waktu 1 atau 2 bulan tergantung pada jumlah kampung yang dikunjungi. Biasanya dengan sepeda motor saya menuju ke salah satu tempat di mana saya bisa tinggalkan sepeda motor, kemudian patroli dilanjutkan dengan jalan kaki. Jarak dari kampung yang satu ke kampung yang lain bisa ditempuh dengan jalan kaki 1 hari penuh. Berangkat jam 6 pagi dan tiba jam 6 sore. Setelah tiba di satu kampung kemudian saya tinggal di situ untuk beberapa hari mengadakan macam-macam pelayanan: misa, katekese, cek sekolah, dsb. Setelah itu, melanjutkan perjalanan menuju kampung yang lain….
Setiap kali mau “patroli” saya selalu membawa begitu banyak perbekalan: beras, supermi, ikan kaleng, bawang merah, bawang putih, garam, gula, kopi, dan masih banyak lagi…… Maklum, saya mau patroli untuk waktu yang cukup lama.
Suatu kali dalam patroli, saya tiba di stasi yang paling jauh. Ketika tiba di kampung itu dan tiba waktunya memasak, umat di kampung itu bertanya: “Pastor ada beras kah?” “Oh ada,” jawab saya, “Sana ko masak secukupnya.” Ketika makanan istimewa sudah siap [makan istimewa = nasi, supermi, ikan kaleng J,] saya baru sadar, ternyata semua bahan makanan yang saya bawa dimasak…. Dan banyak orang ikut makan rame-rame….. haha…. Maka, untuk seminggu ke depan, karena perbekalan sudah habis, untuk makan sehari-hari, saya nikmati saja apa yang bisa disiapkan dari kebun: ubi, pisang rebus, sagu…. Kalau pas dapat telur ayam hutan, wah… istimewa….
Belajar dari pengalaman itu, pada putaran berikutnya dalam kunjungan berkeliling dari kampung ke kampung, saya beritahukan kepada umat setempat bahwa saya tidak membawa bermacam-macam perbekalan lagi. Saya hanya membawa apa yang penting dan perlu, dan soal makanan, saya nikmati apa yang disediakan oleh umat: sagu, ubi, pisang rebus….
Beberapa hal saya pelajari dari pengalaman itu. Ternyata perbekalan yang banyak dan beraneka ragam itu menjadi beban berat tersendiri, apalagi harus dipikul, menapaki jalan berlumpur atau jalan setapak naik turun bukit di tengah hutan sambil bergelut dengan lintah-lintah yang menari-nari. Perbekalan yang banyak dan beraneka ragam juga juga mengarahkan perhatian lebih banyak pada persiapan perbekalan tersebut dan bukan persiapan pelayanan pastoral.
Selain itu, dengan membawa perbekalan sendiri, justru saya menempatkan diri sebagai “orang lain”, orang asing, yang makanannya berbeda dengan umat. Tetapi dengan makan apa yang mereka makan sehari-hari, saya menjadi bagian dari umat. Secara pastoral lebih menguntungkan.
Dalam hidup pun, tidak jarang kita membebani diri kita dengan hal-hal yang kurang penting dan tidak perlu. Hal-hal apa yang tidak perlu tetapi membebani anda? Travel light!
Bacaan Misa hari ini: Ezr. 9:5-9; MT Tob. 13:2,3-4a,4bcd,5,8; Luk. 9:1-6