Suatu ketika, seorang manager di sebuah kantor perusahaan, jatuh pada kecanduan minuman keras. Setiap orang mebicarakannya, tapi cuma ngomong-ngomong di belakang. Karena dia adalah boss di situ, tak seorangpun berani menegurnya. Makin lama, dia semakin dekat ke jurang kehancuran hidupnya. Hingga suatu kali, salah satu pegawainya memberanikan diri mendekatinya. Ketimbang ngomong-ngomong di belakang tentang dia, pegawai itu ngomong langsung dengannya.
“Pak, kami perhatikan bahwa anda menjadi peminum,” pegawai itu mulai berbicara dengannya. “Tidakkah anda melihat bahwa anda sedang membunuh diri anda sendiri? Jika Bapak tidak berhenti minum minuman keras, maka Bapak menghancurkan diri Bapak sendiri, dan juga kami.” Perjumpaan muka dengan muka itu membuka matanya. Dengan menyesal, sang manajer akhirnya mengambil langkah untuk rehabilitasi, walau itu menyakitkan untuk dia. Namun, dia berubah karena seseorang punya keberanian untuk berbicara kepadanya.
Seorang lelaki sering terlihat bersama dengan perempuan yang bukan isterinya. Hal itu menjadi perbincangan di antara teman-temannya, bahkan mereka sudah menduga bahwa ia tenggelam dalam perselingkuhan. Malang baginya, hidup perkawinannya berantakan. Semua temannya bilang: “Tuh kan…. Saya sudah menduga bahwa ini akan terjadi!” Tetapi mengapa tak seorangpun menegurnya?
Kadang-kadang kita salah mengerti, bahwa mengasihi seseorang berarti selalu setuju dengannya atau tidak menyakiti hati atau perasaannya. Namun kasih dan persahabatan yang sejati juga berarti mengkritik atau tidak setuju bila seseorang yang kita kasihi itu melangkah menuju kehancuran. Kadangkala, hal terbaik yang dapat dilakukan kepada orang yang anda kasihi itu adalah tidak setuju dengannya bila ia melakukan sesuatu yang salah.
Injil hari ini berkata, “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali,” (Mat 18: 15). Dalam mengajarkan tanggungjawab kita bagi sesama, Kristus mengatakan bahwa bagian dari kasih kita kepada sesama adalah mengoreksi kesalahan-kesalahannya.
Injil juga mengajarkan bahwa ketika kita mengoreksi sesama, entah itu suami, isteri, anak, sahabat, rekan kerja atau siapa saja, harus dilakukan dalam semangat cinta kasih. Kritik, seperti air hujan, memberi pertumbuhan bagi tanaman tanpa merusak akarnya. Namun, seperti air, jika terlalu banyak akan merusak tanaman. Kritik negatif yang berlebihan juga akan merusak pertumbuhan seseorang.
“Tegorlah dia di bawah empat mata,” kata Yesus. Jika anda berpikir bahwa suami anda tidak memberikan waktu yang cukup di rumah, tegurlah dia – dan bukan mengatakannya kepada tetangga atau teman-teman anda. Demikian juga, ketika anda merasa bahwa isteri anda terlalu banyak “bersosialita” dan tidak memperhatikan rumah tangga dengan semestinya, tegurlah dia, dan bukan menceritakannya dengan teman-teman anda.
Tidak mudah untuk berbicara. Namun lebih baik mengambil risiko terjadi sedikit gesekan dan memecahkan masalah, daripada membiarkan masalah itu membusuk, atau seperti bom waktu yang suatu saat pasti meledak dan menyebabkan pasangan semakin menjauh satu sama lain.
Mari, bertanya kepada diri kita masing-masing: Jika saya ditegur karena salah, apakah saya marah? Atau mendengarkannya, merenungkannya dan jika melihat kebenaran dengan rendah hati memperbaiki kesalahan saya? Bagaimana saya melihat teguran persaudaraan, sebagai hal yang negatif atau positif? Apakah saya melihat bahwa teguran itu akan membantu saya menjadi pribadi yang lebih baik, yang lebih berkenan kepada Allah?
Satu hal lagi, jika seseorang menyinggung anda, jika seseorang menyakiti hati anda, jika seseorang perlu dikoreksi, bicarakan dengan Tuhan tentang saudara atau saudari tersebut, bukan menggosipkannya. Jika seseorang perlu dikritik, pertama-tama, bicarakan dengan Tuhan apa kritik yang ingin anda sampaikan.
Cara paling effektif untuk mengoreksi orang lain adalah melalui doa. Kita harus menyadari bahwa tidak hanya kata-kata baik dan bagus dari kita yang mengubah hati, bukan hanya kata-kata indah kita yang mengubah orang, tetapi pertama-tama yang mengubah orang adalah rahmat Tuhan. Hanya Tuhan yang dapat mengubah orang. Hanya rahmat Tuhan yang membuat hati bertobat, bukan kita. Itulah sebabnya, doa adalah sangat penting, sarana paling vital dalam koreksi persaudaraan.
Bacaan Misa hari ini, Minggu Biasa XXIII Tahun A: Yeh. 33:7-9; Mzm. 95:1-2,6-7,8-9; Rm. 13:8-10; Mat. 18:15-20
1 Comment
Pingback: CORRECTIO FRATERNA – REMAH SABDA