“Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata: “Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan.” Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka: “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.” (Mat 15: 1-2. 10 – 11)
Saya jadi ingat akan cerita ini:
Mulah Nasruddin menemukan sebuah intan di pinggir jalan tetapi, menurut Hukum, yang menemukan menjadi pemilik hanya jika ia sudah mengumumkan penemuannya di tengah pasar tiga kali pada kesempatan berbeda-beda.
Nasruddin mulai berfikir – aku tidak mau mengabaikan Hukum agama tetapi aku tidak mau mengambil risiko berpisah dari benda yang kutemukan ini. Maka tiga malam berturut-turut, ketika ia yakin, bahwa setiap orang sudah tidur nyenyak, ia pergi ke tengah pasar dan di sana mengumumkan dengan suara lembut. “Aku telah menemukan intan di jalan, yang menuju kota. Barangsiapa tahu pemiliknya, harus menghubungi aku segera.”
Tidak ada orang yang menangkap kata-kata Mullah, tentu saja, kecuali satu orang, yang kebetulan berdiri di muka jendela pada malam ketiga dan mendengar Mulah mengumumkan sesuatu. Ketika ia mencoba mengetahui ada apa, Nasruddin menjawab: “Saya sama sekali tidak wajib mengatakan itu kepadamu. Tetapi ini kukatakan: karena aku orang beragama, aku pergi ke sana tadi di waktu malam untuk mengucapkan beberapa kata mengenai Hukum.”
Dalam perjalanan waktu, para pemimpin agama Yahudi mulai menambahkan komentar-komentar dan tradisi ritual pada Hukum Musa. Komentar-komentar dan tradisi tambahan itu dianggap sama pentingnya dengan hukum. Komentar-komentar dan tradisi tambahan, mungkin menerangkan hukum. Akan tetapi seringkali tambahan-tambahan itu semakin merosot menjadi hal luaran saja.
Para Farisi dan Ahli Taurat pertama-tama adalah hamba Tuhan yang seharusnya memberikan pengertian dan pemaknaan yang lebih baik akan hukum dalam hidup bangsa Israel. Namun pada kenyataanya, tuntunan itu menjadi personifikasi arogan dari ritualisme dan formalisme.
Kita disadarkan pada pentingnya jiwa dan roh pada apa saja yang kita lakukan. Allah membaca hati. Hatilah yang memberi nilai pada tindakan.