Remah Harian

Ideal vs Realitas

Pinterest LinkedIn Tumblr

Bacaan hari ini: Yos. 24:1-13Mzm. 136:1-3,16-18,21-22,24Mat. 19:3-12

Salah satu ancaman terbesar terhadap masa depan manusia saat ini bukanlah perang nuklir, tetapi serangan terhadap institusi perkawinan, keluarga dan selibat. Ini adalah strategi si jahat, sebab dengan menghancurkan stabilitas perkawinan dan keluarga, manusia akan tak berdaya. Semakin banyak kejahatan akan dilakukan karena kurangnya fondasi cinta dan nilai-nilai yang dibangun dalam hidup kelaurga. Karena alasan itulah maka Gereja selalu mengajarkan bahwa fondasi perkawinan dan keluarga terdapat pada perkawinan antara pria dan wanita yang tak terceraikan; dan bagi mereka yang tidak dipanggil untuk hidup perkawinan, hidup selibat.

Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menetapkan fondasi bagi perkawinan dengan menunjuk pada penciptaan. “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging,” (Mt 19: 4-5). Demikianlah Allah menciptakan kita. Dengan demikian, jelas bahwa bagi Yesus Allah juga tidak menghendaki perkawinan sejenis. Orang tiak dapat membenarkan pilihan perkawinan sejenis dengan dasar penciptaan. Itu adalah suatu anomaly, bukan suatu pilihan.

Mengalir dari prinsip itu, Yesus mengutuk perceraian. “Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Mt 19: 9). Selama perkawinan dirayakan dengan benar, yaitu dengan kehendak bebas dan keputusan yang dewas dari kedua pihak, maka perkawinan itu valid dan tak terceraikan. Jika dapat dibuktikan sebaliknya, dan tidak ada perkawinan seperti dimengerti oleh Yesus, maka bisa dibatalkan. Oleh sebab itu, Gereja, seperti juga Yesus, tidak dapat menerima perceraian, yang ada adalah pembatalan (anulisasi) karena cacat sejak perkawinan. Dengan perkawinan pria dan wanita secara permanen dimeteraikan dalam kesatuan.

Dalam kaitan itu, mereka yang single dipanggil untuk selibat. Yesus berkata , “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga,” (Mat 19: 12). Hidup sendiri menjadi pilihan seseorang, entah karena tidak dipanggil untuk hidup perkawinan atau karena seeorang ingin mempersembahkan dirinya untuk melayani Allah dan sesama, entah dengan memberikan diri bagi imamat atau hidup religius. Bagaimanapun juga, entah kita imam, religius, menikah atau single, kita semua dipanggil untuk mengasihi dan memberikan diri dalam kasih dan pelayanan untuk memajukan keluarga, perkembangan masyarakat dan kesejahteraan manusia.

Itu adalah yang ideal. Sesuai dengan rencana Allah. Gereja menetapkan yang ideal itu sebagai hukum bagi umat beriman agar kita dapat menghidupi rencana Allah sehingga kita dapat hidup secara integral. Hukum Kristus dan Gereja dalam menjaga perkawinan dan keluarga itu benar. Sebuah keluarga yang stabil dimana kasih dan perhatian satu sama lain dihidupi memberikan rasa aman bagi siapa saja dalam keluarga. Ketika tidak ada komitmen dari kedua orang tua, anak-anak akan hidup dalam kekhawatiran akan perisahan, ketika orang tua mereka bercerai. Mereka akan kehilangan kasih atau bahkan terpisah dengan saudara-saudara mereka. Benarlah perkawinan didefinisikan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan sejenis tidak memberi asuhan yang holistik bagi anak-anak. Setiap anak lahir dari persatuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan, dan kerena itu memliliki hak untuk dibersarkan oleh pasangan yang memberi hidup kepada mereka. Pasangan sejenis tidak dapat memberikan kasih yang utuh bagi setiap anak.

Bagaimana dengan selibat baik imamat maupun sebagai religius? Tuntutan bagi imam dan religius untuk selibat itu layak dan mulia. Selibat akan membantu pribadi yang bersangkutan untuk commit secara penuh kepada Kristus dan pelayanan umat manusia. St. Paulus menegaskan, “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara  Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya. Orang yang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan isterinya,  dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami  dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa  mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya,” (1 Kor 7: 32 – 34). Selibat berarti komitmen total kepada Tuhan sebagai mempelaiNya.

Namun Yesus menunjuk kepada kelemahan manusia. Ketika Ia ditanya, mengapa Musa mengijinkan perceraian, Ia berkata: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian,” (Mat 19: 8). Jadi kita memiliki ideal yang sering tidak sejalan dengan realitas. Kita, manusia adalah pendisa. Ia lemah dalam kasih dan pengertian. Sedang, idealnya, suami dan istri harus tetap bersatu dalam kasih sepanjang hidup sehingga terjamin stabilitas dalam keluarga, khususnya dalam membesarkan dan mengasuh anak-anak, di mana ada kasih dan rasa alam, yang terjadi dalam realitas sering berbeda. Kita berbeda-beda dalam karakter dan latar belakang yang membentuk kita. Kita dipengaruhi oleh nilai dunia. Kini, dengan perempuan juga bekerja, memegang tanggungjawab yang sama dengan lelaki, tuntutannya berbeda dengan apa yang ada 2000 tahun lalu. Dalam perjalanan, aka nada konflik tentang pandangan-pandangan tentang dunia, dalam memandang agama, dalam hal nilai-nilai, dalam cara mengatur rumah tangga dan membesarkan anak-anak. Konflik dan ketaksepahaman sering menjauhkan kita dari kemampuan untuk berkomunikasi. Ini menimbulkan ketegangan dalam relasi, hati menjadi bisu dan membatu setelah pertengkaran demi pertengkaran, dan cinta entah terbang ke mana….

Idealnya, seorang lelaki dapat menemukan seorang perempuan yang akan menjadi belahan hati dan jiwanya. Namun seringkali ada situasi di mana hal itu tidak terhadi. Karena alasan-alasan tertentu, orang tidak dapat menemukan pasnagan hidup dalam perkawinan atau tidak tertarik terhadap lawan jenis. Sedangkat kita tidak dapat hidup sendirian. Kita semua membutuhkan cinta. Kita takut akan kesendirian dan penolakan. Kita tidak ingin sendirian. Setiap orang membutuhkan teman – sahabat. Jika sahabt itu bukan suami atau istri, bisa jadi itu teman dengan jenis kelamin yang sama. Dapat tumbuh intimitas atau kasih seperti antara Raja Daud dengan Jonathan, Putra Saul. Namun perlu disadari bahwa godaan akan cinta badani sangatlah besar, apalagi dalam tarikan sensualitas dunia yang begitu kuat. Kita membutuhkan sentuhan fisik, dipeluk, dicium. Ketika intimitas seperti itu menjadi sangat intens, dapat menarik kita pada cinta badani. Jadi, entah orang itu adalah single sebagai awam, atau imam, atau religius, ia dipanggil untuk mengendalikan diri dari cinta badani. Ini adalah tuntutan yang tinggi memang, dan banyak yang gagal dalam usaha untuk menjaga diri mereka tetap suci. Inilah realitas kehidupan.

Dalam hal inilah Gereja berusaha untuk berbelas kasih. Hukum itu bagus dan harus diikuti, namun harus diakui bahwa tidak semua dapat menghidup ideal seperti yang diajarkan oleh Tuhan kita. Ketika para murid berkata, “”Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin,” (Mat 19: 10), Yesus berkata: “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja,” (Mat 19: 11). Dengan kata lain, ajaran-Nya tentang perkawinan, keluarga dan selibat itu memang sulit. Kita membutuhkan rahmat Allah untuk menerima rencana-Nya bagi umat manusia dan rahmat untuk menghidupi panggilan ilahi itu. Tanpa rahmat-Nya kita tidak akan dapat melakukannya karena kita adalah pendosa dan tegar hati sejak awal. Itulah konsekuensi dosa asal. Kehendak kita lemah dan kemampuan kita mengerti tumpul.

Itu berarti bahwa sementara Gereja perlu memegang teguh hukum demi disiplin dan kebaikan umat manusia yang lebih tinggi, kita juga harus menghargai bahwa banyak yang tidak dapat menghidupi tuntutan dan ideal dari Injil. Bagi mereka, perlu waktu untuk datang , menghargai dan terbuka terhadap ajaran Injil. Itu dapat terjadi melalui doa dan persatuan yang lebih erat dengan Tuhan. Itu bukanlah hal yang dapat kita paksakan karena penerimaan dan pengertian membutuhkan waktu. Kita harus memberi peluang bagi mereka untuk bertumbuh dalam kasih bagi Gereja dan iman dalam komunitas kita. Allah akan menunjukkan jalan.

Sungguh, sejarah kita adalah sejarah rahmat dan dosa. Itulah yang ditunjukkan oleh bacaan pertama. Yosua melewati sejarah dengan umatnya sejarah keselamatan, mulai dari nenekmoyang, Abraham, Izak dan Yakub. Ia membimbing mereka, bagaimana Allah mempersiapkan umat-Nya untuk masuk ke tanah terjanji. Melalui pelbagai cobaan, kesalahan, dan kesulitan, umat Israel disiapkan untuk menduduki Tanah Terjanji. Namun semuanya tidak terjadi dengan kekuatan sendiri, hanya dengan rahmat dan belas kasih Allah. Sungguh, Allah mengingatkan mereka bahwa, “Sesungguhnya, bukan oleh pedangmu dan bukan pula oleh panahmu. Demikianlah Kuberikan kepadamu negeri yang kamu peroleh tanpa bersusah-susah dan kota-kota yang tidak kamu dirikan, tetapi kamulah yang diam di dalamnya; juga kebun-kebun anggur dan kebun-kebun zaitun yang tidak kamu tanami, kamulah yang makan hasilnya,” (Yos 24: 12 – 13).

Bersama dengan pemazmur kita berseru: “Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya,” (Mzm 136: 1). Maka, hendaklah kita tidak kehilangan harapan. Mari kita lanjutkan peziarahan kita, menemukan cinta Allah dalam hidup kita. Permasalahan-permasalahan itu akan tetap ada tetap Allah akan menuntun kita menuju Terjanji, jauh dari yang kita bayangkan. Sementara itu, ketika kita bergumul dengan permasalahan-permasalahan itu, kita memohon tuntunan, kebijaksanaan dan belas-kasih-Nya.

Author

Write A Comment