Kemudian Yesus pergi ke suatu kota yang bernama Nain. Murid-murid-Nya pergi bersama-sama dengan Dia, dan juga orang banyak menyertai-Nya berbondong-bondong. Setelah Ia dekat pintu gerbang kota, ada orang mati diusung ke luar, anak laki-laki, anak tunggal ibunya yang sudah janda, dan banyak orang dari kota itu menyertai janda itu. Dan ketika Tuhan melihat janda itu, tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia berkata kepadanya: “Jangan menangis!” Sambil menghampiri usungan itu Ia menyentuhnya, dan sedang para pengusung berhenti, Ia berkata: “Hai anak muda, Aku berkata kepadamu, bangkitlah!” (Luk 7: 11 – 14)
Gambaran tentang Yesus yang paling hidup nampak dalam Injil Lukas. Ia adalah seorang yang penuh belas-kasih, seperti nampak dalam Injil hari ini. Tanpa diminta Ia mendekati ibu janda yang kehilangan anak tunggalnya, membangkitkannya kembali dan menyerahkannya kepada ibu janda itu. Sungguh, belas kasih menjadi karakter Yesus, karakter hati dan pelayanan-Nya.
Belas kasih (compassion), dalam bahasa latin: compassio, bukanlah sekedar perasaan. Compassio yang sejati menuntun kita pada tindakan. Kata compassio sendiri merupakan gabungan dua kata “cum” yang berarti dengan atau bersama dan “pati” yang berarti menderita. Jadi compassio berarti menderita bersama.
Compassio menuntut kita untuk pergi ke tempat di mana ada luka, masuk ke tempat di mana ada sakit, berbagi dalam kehancuran, ketakutan, kebingungan, kegelisahan, kesedihan. Compassio menantang kita untuk bersedih bersama dengan mereka yang sedang bersedih, meratap bersama dengan mereka yang kesepian, menangis bersama dengan mereka yang berurai air mata. Itu menuntut kita untuk menjadi lemah bersama dengan yang lemah, rentan dan tak berdaya. Jadi compassio bukan membungkuk kepada mereka yang kurang beruntung dari posisi yang lebih istimewa; bukan menjangkau dari tempat yang tinggi kepada kepada mereka yang ada di bawah; ini bukanlah dorongan rasa simpati, atau kasihan, bagi mereka yang gagal meraih ke atas. Sebaliknya, compassio berarti, berada bersama mereka yang menderita, di tempat mereka menderita dan tinggal di sana. Dalam hal ini Ibu Teresa dari Calcutta menjadi contoh yang paling nyata.
Pertama kali saya melibatkan diri dengan pelayanan bagi saudara-saudari yang hidup dengan HIV/Aids, saya bergulat. Waktu itu saya menjalani live in di Camillian Social Center, Thailand. Perjuangan terberat saya adalah waktu pertama kali melayani pasien di unit palliative, ketika harus mengangkat mereka, memandikan, mengganti pampers, mengganti sprei mereka, dsb. Dalam hati saya bertanya, saya seorang imam, untuk apa saya harus melakukan ini? Perlu suatu proses untuk menanggalkan diri untuk bersama dengan mereka.
Kita semua mampu untuk mengasihi sesama. Kita bisa memilih untuk menampilkan kualitas kebaikan kita atau tidak. Yesus melakukan apa yang Dia bisa untuk memberikan yang sungguh diperlukan oleh ibu janda yang sedang berduka itu. Meskipun sulit bagi kita untuk sepenuhnya memahami dan mengikuti kehendak Tuhan dengan keterbatasan manusiawi kita, kita tahu bahwa Tuhan hadir di dalam diri kita masing-masing, dan melalui kita menyentuh, menjamah mereka yang sangat membutuhkan.
Bacaan Misa hari ini: 1Tim. 3:1-13; Mzm. 101:1-2ab,2cd-3ab,5,6; Luk. 7:11-17