Mahatma Gandhi dalam autobigrafinya mengisahkan bahwa, ketika ia masih mahasiswa, ia membaca Injil dan menemukan bahwa ajaran Yesus adalah jawaban bagi masalah besar yang dihadapi orang-orang sebangsanya: sistem kasta. Maka ia berpikir untuk memeluk iman Kristiani. Kemudian di suatu hari Minggu pagi ia pergi ke gereja. Ia ingin berbicara dengan pimpinan di gereja itu tentang gagasannya. Namun, ketika ia hendak masuk gereja, petugas tata tertib tidak memberikan kepadanya tempat duduk dan mengatakan kepadanya supaya beribadah bersama bangsanya sendiri. Gandhi segera meninggalkan gereja itu dan tak pernah kembali. “Jika orang-orang Kristen juga membeda-bedakan orang dengan kasta,” katanya, “lebih baik saya tetap Hindu saja.”
Kepercayaan bahwa rahmat Allah hanya terbatas bagi bangsa atau suku atau budaya tertentu sudah ada sejak lama. Keyakinan seperti itu sangat nyata dalam masyarakat di mana Yesus tumbuh dewasa. Ketika Yesus berkata, “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.” (Mat 15: 24) Ia menyatakan keyakinan umum itu. Tidak jelas bagi kita, entah Ia sendiri percaya pada keyakinan itu atau Ia mengatakannya untuk menyatakan dan mengoreksi keyakinan yang salah itu. Setiap orang dan budaya memiliki prasangka dan keyakinan seperti itu – dari keyakinan bahwa bangsa Yahudi adalah satu-satunya bangsa pilihan Allah sampai keyakinan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan, dari prasangka yang tumbuh dari sistem kasta di India sampai pada keyakinan superioritas rasial Nazi Jerman, dari mitos superioritas laki-laki atas perempuan hingga superioritas budaya Barat. Kita hari ini diundang untuk mengbongkar mitos itu dan mengoreksi keyakinan yang berlebihan dan salah.
Rupanya perlu intervensi seorang yang asing sama sekali, seorang perempuan Kanaan, untuk menciptakan kesadaran di antara orang-orang Kristen Yahudi waktu itu bahwa kepercayaan akan hak prerogratif ekslusif ilahi bagi bangsa Yahudi itu tidak beralasan. Barangkali kita, orang-orang Kristiani masa sekarang ini juga berhutang pada keberanian perempuan tanpa nama ini yang meruntuhkan tembok-tembok intoleransi antara bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lainnya. Kita perlu belajar dari perempuan Kanaan ini dalam pelayanan kita sekarang, bagaimana kita harus merombak struktur-struktur yang menciptakan pemisahan antara anak-anak Allah dan umat manusia yang sebenarnya sama-sama dicintai Allah.
Hal pertama yang dia ajarkan kepada kita untuk mendamaikan seluruh umat manusia kepada Allah adalah keberanian. Dalam posisi sebagai seorang asing dan seorang perempuan, diperlukan keberanian yang fenomenal baginya untuk menghadapi orang-orang Yahudi dan semuanya laki-laki dalam rombongan Yesus bersama murid-murid-Nya. Ia dalam posisi yang begitu kecil, sehingga, meskipun Ia menyerukan nama Yesus dengan gelar Mesianis-Nya: “Kasihanilah aku, ya Tuhan, Anak Daud,” (Mat 15: 22), Yesus masih mengabaikannya. “Tetapi Yesus sama sekali tidak menjawabnya,” (Mat 15: 23). Kebanyakan orang akan menyerah kalah sampai pada titik itu. Tapi tidak bagi perempuan Kanaan itu. Malahan ia berseru lebih keras hinga para murid yang terganggu meminta Yesus untuk melakukan sesuatu. “Suruhlah ia pergi, ia mengikuti kita dengan berteriak-teriak,” (Mat 15: 23b). Keberaniannya dan kegigihannya akhirnya terbayarkan.
Hal kedua yang dapat kita pelajari dari perempuan Kanaan itu adalah fokus, arahkan perhatianmu pada tujuan. Ketika Yesus mengatakan sesuatu yang merendahkan: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing,” (Mat 15: 26), ia tidak goyah, tetapi perhatiannya tetap terarah pada tujuan, yakni, menunjukkan bahwa orang bukan Yahudi pun berhak akan berkat Allah melalui Kristus. Ia tahu, jika ia terganggu dengan apa yang dikatakan oleh Yesus, ia akan kehilangan apa yang menjadi tujuan kedatangannya. Tetapi dengan fokus, perhatian terarah pada tujuan, maka ia mendapatkannya. Barangkali ia dapat menjadi model gerakan tanpa kekerasan, jika kita melihat bahwa kata-kata Yesus merupakan serangan verbal yang tak adil baginya dan bagi bangsanya.
Akhirnya, Yesuslah yang menyerah. Maka Yesus menjawab dan berkata kepadanya: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” (Mat 15: 28). Dan perempuan itu mendapatkan apa yang diinginkannya. Pesan yang dapat kita tangkap dari perempuan itu adalah: jangan takut! Jangan takut tantangan, jangan takut praduga dan kepalsuan, bahkan di tempat yang terhormat, di tempat yang kudus. Yang terkecil di antara kita, dapat menjadi sarana bagi Allah menyatakan keadilan dan membawa kesembuhan terutama bagi yang kecil, lemah, dan terpinggirkan.
Bacaan Misa Hari Ini: Yes. 56:1,6-7; Mzm. 67:2-3,5,6,8; Rm. 11:13-15,29-32; Mat. 15:21-28